Opini

Halaman “Opini” dimaksudkan untuk memuat pendapat yang relevan dengan isu-isu yang berkaitan dengan perjalanan reformasi Indonesia. Bentuk dari opini yang dimaksud di sini sangat beragam, bisa berupa tulisan (esai/artikel/cerita pendek, dll) maupun gambar/foto. Bagi yang berminat mengirimkan opininya, silakan alamatkan ke proyek.payung@gmail.com.  Sekedar informasi tambahan, berkat halaman ini, tingkat kunjungan ke situs “9808” terhitung cukup baik-mungkin antara lain karena kurangnya bahan/literatur dalam bentuk apapun mengenai reformasi Indonesia. Kami tunggu partisipasi Anda. Terima kasih.

Yang Muda Yang Melawan Lupa|Rumah Film|17 September 2008

Eric Sasono-Redaktur Rumah Film

Ulasan ini ditulis oleh Eric Sasono-kritikus film, dan dimuat di www.rumahfilm.org. Kami muat dengan izin Rumah Film.

Mungkin rekan saya Hikmat Darmawan benar ketika ia menulis bahwa dibutuhkan waktu 10 tahun agar sebuah trauma bisa diceritakan kembali dengan cukup tenang. Hikmat menyatakan ini untuk resensi film May (Viva Westi), film yang menceritakan kembali peristiwa Mei 1998 dan akibatnya bagi bangsa ini dan juga bagi sepasang kekasih beda etnis. Ketika melihat peristiwa itu secara berjarak – dari segi waktu – May mampu menatap lama-lama sebuah luka bangsa yang belum sepenuhnya sembuh.

“9808”, Antologi 10 Tahun Reformasi , membicarakan hal serupa dengan May. Mungkin bukan kebetulan pula ia terbit di tahun yang sama dengan May. Sepuluh orang pembuat film muda mengumpulkan film-film pendek mereka membicarakan peristiwa penting yang membuat bangsa ini melakukan belokan politik besar.

Mei 1998 merupakan peristiwa yang baru lewat, dan belum punya versi “resmi”. Banyak orang masih bisa memberi kesaksian apa yang sesungguhnya terjadi. Orang-orang seperti Wiranto, BJ Habibie, Prabowo dan Harmoko berombongan membuat catatan versi mereka untuk menempatkan diri mereka sebagai pahlawan (setidaknya bukan penjahat) saat itu, seraya mendapuk kemungkinan berkuasa lagi kini. Jika mereka berkuasa, salah satu versi mereka mungkin bakal jadi versi resmi atas peristiwa penting itu. Seperti kiranya ketika Soeharto berkuasa dan versinya menjadi versi resmi tentang peristiwa yang terjadi sekitar 1965.
Anak-anak muda yang membuat film dalam antologi ini punya versi sendiri yang mungkin tak masuk dalam catatan-catatan yang diterbitkan oleh orang-orang itu. Dalam konteks seperti ini, apa yang dilakukan oleh kelompok yang tergabung dalam Proyek Payung ini adalah sebuah pencatatan kecil yang persepsional tapi penting sebagai versi alternatif atau bahkan sub-versi dari apa yang dicatat oleh para tokoh ”resmi” itu.
Seluruh film pendek di dalam antologi ini merupakan film yang memiliki kekisahan yang (seharusnya) utuh dan tak tergantung pada kerangka tema untuk menunjang narasinya. Namun penyatuan karya-karya ini dalam antologi “9808” menimbulkan perspektif berbeda dari kekisahan semula film-film pendek ini. Sengaja atau pun tidak, “9808” hingga saat ini menjadi salah satu persepsi paling utuh tentang Mei 1998 yang tampil ke publik dari generasi yang bukan hanya mengalami, mungkin juga menggerakkannya.
Persepsi ini tampil dalam dimensi beragam. Beberapa cara pandang terasa amat sangat permukaan, bahkan sketsais, dalam memandang peristiwa itu. Beberapa karya mencoba mendekati Peristiwa Mei 1998 sebagai sesuatu yang pesonal dengan cara pandang yang jujur. Satu dua karya membicarakan satu aspek latar belakang dan akibat peristiwa ini sehingga membuka sebuah dimensi yang dalam tentang proses pembentukan bangsa ini, proses yang hingga kini masih jadi pertanyaan besar yang belum terjawab¬. Masa depan juga dibahas oleh antologi ini untuk memberi semacam tutupan (closure) yang menegaskan sikap optimis antologi ini secara keseluruhan.

Sketsa

Jika film ini secara linear dianggap sebagai sebuah buku yang dibaca dari sampul muka, maka sampul muka itu adalah sebuah sketsa. Anggun Priambodo memulai antologi ini dengan bertanya ke lingkungan teman-temannya sebuah pertanyaan: di mana Anda berada pada 13 Mei 1998?
Anggun sedang menampilkan sebuah kenangan kolektif. Siapa yang tidak ingat hari-hari ketika barang-barang di pasar swalayan bisa diambil begitu saja (‘gue pengen ke sana cari kaset Hanson yang baru atau Boyzone’). Siapa yang tak ingat sepeda motor melenggang masuk ke jalan tol dalam kota, atau jalan MH Thamrin yang lengang (di situ banyak tentara, mari berfoto di depan panser). Bahkan, di kota yang jauh seperti Seattle atau Amsterdam, pengalaman kolektif itu sampai juga.

Namun apa yang disampaikan Anggun mirip dengan sebuah sketsa untuk teaser TV yang menemani talk show tentang Mei 1998, ketimbang sebuah karya yang utuh. Rentang narasumbernya tergolong sempit dan jawaban mereka relatif berasal dari orang-orang yang berada “di luar toko” saat penjarahan terjadi. Sebuah representasi yang tidak lengkap –kalau tak ingin dikatakan malas. Hanya saja, Anggun beruntung karena pengalaman kolektif itu masih bisa dikenali dengan baik oleh penonton. Sehingga, kutipan wawancara itu mau tak mau menggema juga dalam pengalaman personal penonton.

Anggun membuat karya dokumenternya ini dengan menampilkan foto demi foto untuk menjadi wakil bagi kisah yang ingin disampaikannya. Tak ada ‘gambar bergerak’ sebagaimana definisi paling sederhana dari ‘moving pictures’. Anggun beruntung karena karyanya dikumpulkan dalam Antologi “9808” ini. Jika berdiri sendiri, karyanya ini tak mampu menghasilkan kekisahan yang utuh dan hanya menjadi kumpulan fragmen.

Selanjutnya adalah Yang Belum Usai karya Ucu Agustin. Karya dokumenter ini menampilkan perjuangan Sumarsih yang sedang mencari tahu siapa orang yang menembak anaknya, Wawan, dalam peristiwa Semanggi (November 1999). Kisah sang ibu dimulai dari perayaan paskah (yang kesepuluh tanpa Wawan) hingga ke doa sang ibu di makam anaknya. Kekerasan hati dan sikap pantang menyerah disajikan oleh Ucu sebagai fakta yang diharapkan bicara sendiri –dan karenanya memberi drama sendiri bagi penonton.

Ucu berharap terbantu oleh subjek yang direkamnya. Perjuangan seorang ibu dalam mencari kejelasan tentang kematian anaknya pastilah mengandung luapan emosi yang besar –dinyatakan maupun tidak oleh sang subjek. Bertolak dari sini, penonton tentu akan turut terbawa emosi cukup dengan melihat semua ini sebagai fakta kering saja. Namun, seorang pembuat film yang baik tidaklah akan menyandarkan pada asumsi semacam itu. Perspektif yang lebih kaya atau pendalaman dari apa yang tampak di permukaan akan selalu dikejar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih ketimbang sekadar dorongan terhadap impuls yang instan.

Karya Ucu ini merupakan pencatatan yang lemah dalam mengajukan perspektif maupun kedalaman. Nyaris tak ada nilai lebih apa pun dari proses Ucu merekam apa yang dialami Ibu Sumarsih. Bahkan nyaris seluruh gambar Ibu Sumarsih adalah gambar yang seakan sedang berpose. Ucu seakan menghadirkan gambar etalase tentang figur ‘pahlawan’ ketimbang menyajikan manusia apa adanya dengan perjuangannya.

Dimensi yang terbuka

Ifa Isfansyah adalah contoh pembuat film yang masuk jauh ke pedalaman. Dalam karya yang sulit dikenali sebagai film Indonesia ini, Ifa menghubungkan samar-samar antara pengalaman seorang anak perempuan berbahasa Cina di Korea, dengan Indonesia –tepatnya dengan peristiwa Mei 1998. Ifa menghubungkan perempuan di Seoul ini dengan voice over siaran berita tentang Indonesia dan percakapan di awal film antara tokoh utama film ini (Huan Guang) dengan petugas imigrasi yang menanyakan asal-usul perempuan muda itu.

Itulah satu-satunya informasi bahwa perempuan muda itu adalah salah satu pelarian dari Indonesia yang ingin melupakan masa lalunya. Anak itu ingin ke Korea, padahal ia tak kenal seorangpun di Korea. Lalu di toko swalayan, perempuan lain yang bisa bahasa Cina menolongnya. Jadilah mereka berteman. Terbukalah jalan mimpi bagi Huan Guang.

Karya ini memang tak bicara langsung soal Mei 1998, tapi jelas sekali bahwa Ifa menginsinuasi momen penting itu. Peristiwa Mei 1998 adalah hilangnya salah satu elemen penting kehidupan: rasa aman. Dan mengaca dari sejarah, hilangnya hal ini sejak dulu menjadi salah satu alasan bagi terjadinya diaspora. Ifa menggambarkan sebuah diaspora-in-the-making. Sebuah masa lalu sedang dilupakan, dan sebuah mimpi (atau eskapisme) sedang dibangun. Ifa tak bicara tentang kenyataan yang akan segera ditemui oleh Guang karena, seperti judul filmnya, Ifa bicara tentang saat matahari terbit, tentang sebuah harapan yang baru saja lahir.

Diaspora Guang ini adalah diaspora aras sekunder, karena ia adalah generasi yang sudah menetap dari sebuah diaspora sebelumnya. Maka konsep Indonesia menjadi sangat cair dalam tingkat-tingkatan diaspora itu dan pelan-pelan mengabur. Ifa mencatat persoalan salah satu ras Asia yang berada pada keadaan transisi yang konstan, dan Indonesia menjadi wilayah persemaian transisi itu. Maka film ini menjadi sebuah pintu masuk bagi pembicaraan mengenai etnis Cina, sebuah agenda yang menyeruak sangat kuat ke permukaan jadi pembicaraan publik sesudah peristiwa Mei 1998 itu terjadi. Ifa berhasil memperlihatkan dengan sangat sensitif bahwa sebuah peristiwa domestik ini mengimplikasikan sebuah identitas kawasan yang lebih luas.

Mimpi Guang beralih ke sebuah fragmen personal lewat karya Otty Widasari, Kemarin. Otty bersama dua sahabatnya, sepasang suami istri Bambang dan Bonita alias Bonet, mengenang apa yang sesungguhnya terjadi pada Mei 1998. Mereka termasuk di antara mahasiswa yang berada di Gedung DPR MPR. Untuk menjatuhkan Soeharto? Menurut Bonet, bukan. Ia ke sana karena urusan asmara. Dan karena Otty pergi ke mamapun Bonet pergi, Otty pun berada di sana; secara tak langsung karena urusan asmara.

Dalam percakapan ini (kamera dengan nakal tak menyembunyikan Bambang yang sedang memegang kamera kedua), Otty tampil jujur dengan memperlihatkan catatan pengeluaran hariannya yang menggambarkan bahwa hidup harus berjalan dengan remeh temeh macam itu. Padahal ia sedang bercerita tentang suatu fase yang dianggap “heroik” oleh narasi-narasi besar dan penjelasan formal tentang gerakan mahasiswa 1998. Hidup memang siklus semacam itu dan percakapan di meja itu adalah sebuah kunjungan ke masa lalu yang akrab dan tak perlu basa-basi.

Teknik perendengan (juxtaposisi) percakapan ketiga orang ini dengan jurnal pengeluaran harian keluarga Otty membuat sebuah pengakuan akan siklus kehidupan yang sejujur-jujurnya itu. Apapun penyebab yang membuat para pelaku peristiwa Mei 1998 berada “di sana pada waktu itu”, toh mereka harus berhadapan dengan kenyataan berupa lajur-lajur catatan pembelian rokok atau ongkos atau belanja ke Hero dan lain-lain “di sini dan saat ini”. Otty berhasil membuat kedua fakta ini saling mengacu dengan dingin dan kuat pada saat yang sama.

Namun kemudian Otty tiba pada sebuah episode yang mengherankan, yaitu ketika ia mengaku bahwa sesungguhnya ia punya perasaan khusus pada Bonet. Otty seperti sedang menawarkan sebuah rahasia terdalamnya kepada penonton yang tak mengenalnya dengan cukup baik. Masihkah ia tulus di sini? Jika ya, untuk apa ketulusan semacam itu dipampang dalam sebuah cerita berdurasi pendek ini dan penonton tak punya waktu dan kesempatan cukup untuk memahami Otty dan persoalannya?

Otty terdengar seperti bercanda, tapi kalimat itu diucapkan menjelang akhir film dan tak lama muncul suami Otty, Hafiz, sambil menggendong anak mereka. Perendengan ini membuat Otty seakan ingin bercerita tentang tragedi pernikahannya, karena Hafiz hingga kini hanyalah bayang-bayang Bonet. Apa hubungan tragedi personal itu dengan peristiwa Mei 1998? Perlukah penonton tahu dalam “pertemuan” pertama mereka dengan Otty dalam durasi yang relatif singkat ini?

Otty mengajukan sebuah risiko besar di mana ia tak bisa menang. Jika ia jujur dengan pengakuan itu, penonton (atau saya) merasa tak siap dan tak membutuhkan informasi tentang tragedi personal sebuah rumah tangga (yang entah sebabnya apa) dalam tontonan singkat tentang peristiwa Mei 1998. Jika Otty tidak jujur, ia menggunakan teknik serupa dengan yang digunakan Tukul Arwana, menyajikan semacam tragedi pribadi sebagai bahan lelucon. Perlukah Otty melakukan hal itu? Bagi saya, rahasia terdalamnya ini bisa dibagikan kepada penonton dalam sebuah karya yang lebih memberi ruang bagi penonton untuk memahami dirinya. Saya yakin Otty masih punya kesempatan lain untuk bicara topik ini.

Dari dimensi personal mengenai peristiwa Mei 1998, film kembali ke sketsa mengenai persoalan identitas –kembali pada etnis Cina. Lewat Sugiharti Halim, Ariani Darmawan membicarakan problem identitas paling permukaan: nama. Ariani bercerita mengenai efektivitas mesin birokrasi masa lalu dalam membatasi kewajaran perkembangan identitas dan upaya asimilasi yang dipaksakan. Yang terjadi adalah semacam dislokasi sosial orang-orang Cina, bahkan dari soal paling luar dari identitas mereka sekalipun.

Untuk itu, Ariani membuat tokoh Sugiharti Halim dalam film ini bicara langsung ke kamera seperti sedang mengajak penonton untuk langsung bicara terus terang tentang subjek ini. Padahal sesungguhnya Sugiharti sedang bicara kepada para lelaki yang sedang diajaknya kencan. Strategi ini membuat film ini seperti sengaja meledek penonton yang sesungguhnya menghindar dari pembicaraan mengenai topik ini, dan Ariani memasabodohi penghindaran itu serta tetap bicara langsung kepada penonton.

Inilah film yang bicara tentang penghadap-hadapan antara negara dengan masyarakat melalui tema yang sederhana. Bisa jadi hal semacam ini bukan milik etnis Cina sendirian. Banyak kelompok etnis dan kepercayaan lain yang mungkin mengalami persoalan serupa. Tapi Peristiwa Mei ‘98 memang seharusnya membuka momentum bagi pembicaraan semacam ini, mengingat etnis Cina tertimpa persoalan yang berkaitan dengan identitas mereka itu. Maka Proyek Payung macam ini memang sudah waktunya.

Pengalaman kolektif yang lain

Lalu kisah mengenai pengalaman kolektif Mei 1998 diulangi lagi oleh Hafiz dalam Bertemu Jen. Namun Hafiz melakukannya dengan sangat berbeda dari apa yang dimulai oleh sketsa Anggun. Ia mengganggu kenyamanan penonton dengan menghadirkan Jen Marais, seorang pelaku teater. Jen bukan seorang sutradara, pemain, atau produser teater. Ia tampak seperti “bukan siapa-siapa” di bidang teater, tapi mengaku “orang teater”. Hafiz mewawancara Jen sambil membawa foto-foto seputar Peristiwa Mei 1998 dan menunjukkan satu demi satu foto itu sambil terus meminta komentar Jen.

Hafiz membuat filmnya dengan mengajukan strategi pemaknaan terhadap peristiwa Mei 1998. Ia seperti ingin memperlihatkan bahwa pemaknaan terhadap peristiwa Mei 1998 adalah sebuah kata kerja yang pendefinisiannya bisa sebanyak orang yang berusaha memaknakannya. Hafiz menggunakan fotografi, teater dan keakraban dengan media audio visual untuk keperluan itu. Hafiz memulai pertanyaannya dengan permainan peran yang sangat akrab dengan dunia teater. Lalu ia berlanjut ke foto-foto yang sebenarnya self-explanatory; dan keluarlah pemaknaan dari mulut Jen: ini peristiwa teater. Sampai kemudian ketika pertanyaan Hafiz mencapai tingkat abstraksi yang lebih tinggi (“lo ada nggak di gambar itu, sebagai manusia?”), pemaknaan menjadi lebih sulit.

Karya Hafiz ini menawarkan sebuah sub-versi terhadap versi resmi (yang belum ada) tentang peristiwa Mei 1998. Ketimbang memberi sebuah alternatif pandangan, Hafiz mengajukan preposisi bahwa peristiwa besar itu seharusnya dilihat sebagai sebuah proses negosiasi antar subjek dalam mendefinisikan apa yang sesungguhnya terjadi.

Jangan lupa bahwa ada medium yang mengantarai (yang beberapa diantaranya mendominasi karena massifnya paparan medium itu) yang membuat pendefinisian itu menjadi tak mungkin. Maka Hafiz seakan mengusulkan agar peristiwa kolektif itu tetap tinggal di benak individu sebagai pengalaman personal yang tak membutuhkan adanya otorisasi apa pun dari siapa pun. Sebuah pembacaan sejarah sebagai subjek yang sangat cair dan tak pernah tetap.

Dunia posmodernisme Hafiz ini ditantang dengan sangat baik oleh Lucky Kuswandi lewat A Letter to Unprotected Memories. Ia memperlihatkan bahwa persoalan identitas dan pemaknaan terhadapnya adalah sesuatu yang kongkret. Orang-orang yang terpisah dari masa lalu, sejarah, dan bahasanya adalah orang-orang yang merana karena seakan tak pernah bisa punya tempat di tanah tempat ia berpijak. Memang Lucky tidak mengacu pada peristiwa khusus pada bulan Mei 1998, tapi paparannya tentang pemaknaan peristiwa bukan sekadar permainan subjektif. Ada sesuatu yang hilang dari genggaman, bagi Lucky.

Lucky mendadarkan masalah ini lewat aksara Cina dan kekisahan dengan model surat seakan sedang berkomunikasi satu arah. Dengan strategi ini, Lucky seperti memperlihatkan bahwa ia tak yakin komunikasi itu bisa sampai, sehingga ia memilih bicara satu arah – seakan sebuah solilokui yang bisa membuat orang-orang yang tak merasa punya kepedulian pada masalah ini akan mengantuk dengan pesannya.

Orang-orang Cina di Indonesia telah menumbuhkan akar di bawah telapak kaki mereka di tanah bernama Indonesia dan mereka seakan berada di luar catatan sejarah resmi. Dengan film ini, Lucky memang masih mengandaikan adanya sejarah resmi, karena ia merasa bahwa strategi yang berada di luar itu akan mengakibatkan mereka kehilangan semangat hidup mereka, seperti tarian naga barongsai yang kehilangan entakan dan berubah menjadi gerakan slow-motion yang berpeluang pelan-pelan hilang.

Dengan agenda pembicaraan seperti ini, Lucky juga mengantarkan strategi visual yang amat baik. Ia menampilkan aksara Cina berselang-seling dengan berbagai gambar ikonik budaya Cina di Indonesia untuk meyakinkan bahwa apa yang dianggap sebagai strategi pemaknaan inter-subjektif oleh Hafiz, bermakna hilangnya kenangan yang tak pernah terlindungi. Lucky justru bercerita bahwa sejarah dibentuk dengan cara yang keras dalam penyingkiran, pembungkaman, dan proses pelupaan.
Pada bagian ini, film sudah masuk ke dimensi yang lebih dalam ketimbang persoalan Peristiwa Mei 1998. Pada bagian ini, antologi ini masuk ke pembicaraan mengenai sebuah penafsiran tentang tata panggung sosial yang secara langsung ataupun tidak berkaitan dengan peristiwa sepuluh tahun lalu. Sebuah penafsiran personal yang luar biasa dari Lucky.

Luka

Kisah berlanjut ke dimensi yang lebih dalam lagi dari persoalan akar identitas seperti yang digambarkan Lucky. Identitas sebagai elemen terpenting penyusun tata panggung yang digambarkan Lucky itu berbuah sebuah tragedi bagi pemiliknya dan mengakibatkan luka yang dalam.
Film berikutnya dari Edwin membuka kotak Pandora tentang etnis Cina, sekalipun Edwin bicara dalam bentuk gumaman yang sama sekali jauh dari tegas. Penyusun antologi ini melakukan spekulasi yang berani dengan memasukkan karya Edwin, A Trip to The Wound. Film yang pernah diputar sebagai film pendek sendirian ini, sebenarnya bercerita tentang sebuah luka personal dan khas (setiap luka pasti ada ceritanya). Namun dalam antologi ini, luka itu berubah menjadi luka kolektif.

Trip bekerja serupa dengan Huan karya Ifa, yaitu menginsinuasi salah satu dimensi paling kontroversial dari Peristiwa Mei 1998, yaitu dampak peristiwa kerusuhan Mei pada etnis Cina. Bahkan Trip lebih misterius karena tak ada cantolan fakta yang nyata-nyata diacu oleh Edwin sebagai peristiwa Mei 1998. Luka itu akhirnya harus diasosiasikan dengan luka akibat dari pemerkosaan masal pada Mei 1998, melalui pemilihan Ladya Cheryl sebagai pemain yang sedikit banyak mewakili etnis Cina dan rabaan ke balik roknya di dalam bus itu

Jika tokoh pada film Ifa takut membincangkan mengenai apa yang terjadi dan langsung bicara tentang eskapisme sebagai dasar diaspora-in-the-making, Edwin justru membahas soal paling sensitif: intrusi terhadap wilayah paling privat para perempuan etnis Cina pada saat kerusuhan –sebutlah: pemerkosaan. Trip mengindikasikan adanya dua sisi dari “peristiwa pemerkosaan” itu. Sisi pertama adalah luka yang terus dibawa berlari –seperti kata sebuah sajak Chairil Anwar–tapi bukan dengan cara berteriak, melainkan dengan keheningan yang cenderung senyap dan getir.
Luka itu berubah menjadi semacam obsesi untuk mencari sejarah luka, karena luka sang korban sendiri tak tampak (karena berada di wilayah paling privat?), tak teraba, tak terbuktikan. Apakah berarti luka itu tak ada?
Etnis Cina yang kerap dijadikan kambing hitam bagi segala keterbelakangan ekonomi Indonesia (termasuk penyebab krisis ekonomi menjelang krisis politik 1998). Ujungnya adalah perusakan toko-toko dan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina pada 13-15 Mei 1998. Namun benarkan perkosaan itu terjadi? Inilah sisi kedua dari luka yang digambarkan oleh Trip. Dan dengan tepat Edwin menginsinuasinya. Adakah luka itu, dan bisakah dilihat tanpa –sekali lagi– mengintrusi wilayah privat para korban?
Ketika Trip diletakkan dalam kerangka “9808”, itulah yang terbaca. Sebuah dimensi yang sangat dalam terhadap salah satu persoalan bangsa ini yang belum selesai.

Masa depan

Luka yang digambarkan oleh Edwin itu bagai sebuah klimaks dari Antologi “9808”. Untuk menurunkan tensi, film berlanjut dengan menatap masa depan reformasi. Dari kacamata personal, tatapan itu hadir dalam film Wisnu SP yang biasa disapa Wisnu Kucing lewat Wisnu Kucing 9808, Catatan Seorang Demonstran. Wisnu adalah bekas seorang jendral lapangan dalam demonstrasi mahasiswa 1998. Ia berdiri di atas panggung, berpidato, dan berteriak retoris, “siap melawan tentara!?”

Sekalipun sama personalnya, tetapi posisi Wisnu berbeda sama sekali dengan Otty Widasari. Jika Otty melihat sejarah dibentuk oleh remeh temeh dan hal yang personal (bahkan kelewat personal), Wisnu berangkat dari sebuah cita-cita perubahan politik dan kemudian bicara tentang sesuatu yang lebih personal, lebih realistis. Jika dalam Kemarin, Otty tampak seperti orang duduk di masa kini dan melamunkan masa lalu, maka Wisnu masa kini merupakan gambaran dari masa depan Wisnu 10 tahun lalu.

Wisnu pada Mei 1998 digambarkan berpeluh dan menarik urat leher bersiap menghadapi tentara, sementara Wisnu di bulan yang sama sepuluh tahun kemudian mengganti popok bayinya di dalam mobil Volvo tuanya yang sedang menuju lokasi syuting tempat ia bekerja sebagai produser freelance media audio visual. Istrinya seorang anggota DPRD yang baru saja melahirkan dan Wisnu merasa bahwa ia masih memelihara semangat untuk membuat negeri ini menjadi tempat yang lebih baik bagi semua, terutama bagi anaknya yang masih bayi itu.

Alangkah menariknya ketika Wisnu menemukan serombongan mahasiswa berdemonstrasi. Sambil menggendong anaknya, ia berbincang dengan polisi yang mengawasi demonstrasi itu, bagaikan sedang berkata ‘sepuluh tahun lagi kalian akan seperti saya’. Wisnu dengan sikap been there done that, melihat mahasiswa-mahasiswa itu dan berkomentar agar mereka sebaiknya terus kuliah dan belajar saja. Toh, akhirnya mereka harus berhadapan dengan masalah kongkret seperti yang dihadapi dirinya: uang. Karena anak dan istri perlu makan, uang sekolah mahal, dan sebagainya.

Wisnu Kucing jadi gambaran sempurna siklus ‘revolusi berhenti di usia 30’ yang klise. Namun Wisnu adalah seorang yang jujur dalam memandang dirinya seperti itu. Karenanya, karya ini menjadi sebuah catatan yang kecil dan sederhana. Catatan kecil itu bukan merupakan pameran kekalahan, tapi semacam pengakuan yang rendah hati dan apa adanya.

Jika Wisnu kini adalah sebuah “masa depan” dari apa yang terjadi pada 10 tahun yang lalu, maka ada peluang untuk dikatakan bahwa reformasi tak menghasilkan apa-apa. Benarkah? Antologi ini nyaris saja membenarkan pernyataan itu, sampai muncullah karya terakhir dari Steve Pillar Setiabudi.

Pillar merekam sebuah proses demokrasi ketika sedang mencari bentuknya dalam Our School, Our Life. Sebuah sekolah di Solo, Jawa Tengah, merancang demonstrasi untuk menggulingkan kepala sekolah yang mereka anggap korup. Siswa SMU ini tampak bersemangat dengan data-data yang mereka punya.

Tiba-tiba reformasi dan perubahan politik –di mana Wisnu adalah salah satu tokohnya– seakan mendapat bentuk lewat penggambaran Pillar ini. Dengan penuturan sederhana, Pillar setia dengan muatan yang ingin disampaikan. Ia seakan menjadi seorang jurnalis TV yang sedang melakukan investigasi dan sedang melaporkan fakta kering tanpa niatan dramatisasi. Namun alih-alih menemukan fakta-fakta kering semata tentang korupsi di tingkat rendah, Pillar menemukan dimensi lain dari apa yang dicapai reformasi: penegakan cita-cita politik dan demokrasi yang penuh semangat dan determinasi. Pillar beruntung dengan pencatatan yang dilakukannya.

Kalaupun ada kekurangan dari pencatatan Pillar adalah ia tidak merekam kesaksian dari pihak-pihak yang dituduhkan. Namun kekurangan standar kerja jurnalistik itu tak membuat karyanya berkurang kekuatannya dalam membuat semacam refleksi persoalan tentang Peristiwa Mei 1998. Terutama implikasinya, yaitu bahwa kehidupan bersama yang lebih baik adalah sebuah proses yang sedang dibentuk bersama. Maka menyatakan bahwa gerakan reformasi 1998 tak berbuah apapun harus ditinjau lagi. Karena dari apa yang dimulai sepuluh tahun lalu, sudah tampak tunas yang akan tumbuh menjadi panen suatu saat kelak.

Tidak ada sesuatu yang baku dan bisa diterima begitu saja; proses itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. “9808” sudah memulai perjuangan itu secara kecil-kecilan. Inilah muatan terkuat yang muncul dari dokumentasi Pillar ini ketika digabungkan dalam antologi ini.

Penutup

Sebagai sebuah pencatatan yang tidak ensiklopedis, Antologi “9808” mungkin akan terasa dalam di satu dimensi tertentu tapi cetek dalam dimensi yang lain. Justru itulah kekuatan antologi ini. Dengan pencatatan-pencatatan yang personal dan terbatas macam ini, maka bermunculanlah hal-hal yang mungkin tak terbayangkan muncul apabila karya ini berkeinginan untuk mencapai pencatatan ensikolpedis. Risiko menjadi kelewat personal, sketchy dan sebagainya, mungkin tak terhindarkan, tetapi itulah biaya yang memang perlu untuk menjadi jujur dan menyajikan persoalan dari kacamata yang memang terjangkau oleh para pembuat film dan produser dalam proyek ini.

Jika kemudian film ini lebih banyak menampilkan persoalan etnis Cina di dalamnya, hal ini bisa jadi karena banyaknya pembuat film yang berasal dari etnis tersebut. Tapi bukan alasan karena Ifa yang anak Jogja juga membuat film tentang etnis Cina dan diaspora mereka. Dengan melihat pada topik yang diangkat dalam film ini, sejarah dan identitas etnis Cina dan kaitannya dengan pembentukan bangsa dan kepolitikan negeri ini merupakan sebuah agenda besar yang jauh dari selesai. Maka seharusnya representasi dari etnis Cina dalam antologi ini dipandang sebagai pembicaraan terhadap agenda-agenda yang mengonstitusi bangsa ini.

Maka pencatatan yang dilakukan oleh generasi pelaku dalam “9808”, Antologi 10 Tahun Reformasi iniseharusnya dipandang sebagai sebuah jalan untuk memulai kembali perbincangan tentang bangsa ini: identitas, sejarah, dan peristiwa-peristiwa pembentuknya. Dengan tidak melupakan peristiwa besar itu saja perbincangan ulang itu bisa dilakukan. ***

“9808”, Antologi 10 Tahun Reformasi (Proyek Payung 2008) . Di Mana Saya? (Anggun Priambodo)|Yang Belum Usai (Ucu Agustin)|Huan Chen Guang (Ifa Ifansyah)| Kemarin (Otty Widasari)|Sugiharti Halim (Ariani Darmawan)| Bertemu Jen (Hafiz)| A Letter of Unprotected Memories (Lucky Kuswandi)|A Trip to The Wound (Edwin)|Kucing 9808, Catatan Seorang Demonstran (Wisnu SP)|Our School, Our Life (Steve Pillar Setiabudi).

Kekuasaan Selalu Punya Kepentingan Besar Untuk Meniadakan Pemberdayaan Publik |Percakapan dengan Ade Kusumaningrum|

Ade Kusumaningrum saat ini berprofesi sebagai salah satu dari sedikit sekali publisis untuk film Indonesia. Ia sempat menjadi moderator di salah satu diskusi usai pemutaran “9808”. Berikut adalah cuplikan percakapan Proyek Payung dengannya.  

Anda tadi beberapa kali menyebut film ini menyiratkan kesan “personal is political”, bisa tolong jelaskan?

Karena omnibus ini berbicara  soal hal besar mengenai Indonesia, mengenai reformasi, mengenai politik, mengenai hak-hak rakyat, bahkan falsafah tentang apakah Indonesia dan apakah artinya sebagai/menjadi orang Indonesia justru melalui individu-individu yang riil, yang dengan berbagai persoalannya justru mengungkap, menganalisa, mengkritisi hal-hal besar itu tadi.

Contohnya?

Filmnya Ariani Darmawan (“Sugiharti Halim”-ed.), soal etnis Tionghoa/ras Cina di Indonesia yang harus memakai nama Indonesia. Film ini mengajukan pertanyaan besar soal siapakah (yang berhak diakui sebagai orang) Indonesia, diskriminasi yang dilakukan [karena ganti nama hanya berlaku untuk etnis Tionghoa/ras Cina dan tidak berlaku untuk etnis/ras lainnya seperti Arab dan India yang sudah lama juga hadir di Nusantara ataupun keturunan bangsa lainnya (baik kulit putih ataupun bangsa Asia lain seperti Jepang dan Korea) yang hadir kemudian]. Film-film lainnya juga mengungkapkan hal senada. Hal-hal yang kelihatan sebagai sesuatu yang “personal” dalam kehidupan ke-Indonesia-an ini sebenarnya tidak lepas dari grand design kebijakan-kebijakan politik dan bernegara dan hal ini justru ditangkap dengan sangat cerdas dan diungkapkan ke permukaan oleh para pembuat film supaya kita (penonton) bisa kembali melihat, menyadari, dan merenungkannya.

Setuju dengan anggapan anak muda sekarang kembali ke fase menjadi ‘apolitis’?

Reformasi adalah sebuah peristiwa sejarah yang membuka atau lebih tepat menjebol banyak kanal yang ditutup selama rejim Suharto, terutama kanal politik. Tapi dari awal, peristiwa tersebut merupakan euphoria karena kalau kita mau jujur betul, kesadaran politik tidak pernah benar-benar ditanamkan. Coba aja tanya, berapa banyak keluarga yang membiasakan diskusi di antara anggota keluarga mereka soal hal-hal yang terjadi baik di dalam keluarga sendiri ataupun kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politik di luar keluarga. Berapa banyak orang tua (baik ayah maupun ibu) mau mendiskusikan soal penghematan yang sebenarnya terkait dengan hal besar di luar mereka (soal krisis energi, krisis pangan, krisis lingkungan dsb) dan bukan cuma sekadar gaji orangtua nggak cukup, cuma sekadar berhemat itu perlu? Jadi, kalau sesuatu itu sifatnya euphoria, sudah pasti kemudian akan surut. Karena setelah ledakan, tentunya ada keheningan. Dan sayangnya, banyak orang melihat dan menangkap reformasi sebagai ledakan, bukan sebagai pintu kesadaran. Tapi, seperti halnya berbagai bukti sejarah di muka bumi ini, seperti Pramoedya, saya juga tetap percaya pada anak muda. Anak muda selalu punya energi itu: untuk perubahan. Dunia juga mulai mengglobal dan anak-anak muda mulai lebih mengglobal lagi dengan pesatnya teknologi informasi dan komunikasi. Meskipun banyak anak muda yang apolitikal, tapi rasanya bukannya sedikit juga yang politikal.

Indikatornya? 

Saya lihat halamannya Kompas Muda, anak-anak SMA itu topik/isunya yang diangkat nggak cemen kok. Saya lihat gerakan mahasiswa sekarang masih jalan terus. Mereka nggak lelah kok turun ke jalan menyuarakan banyak hal dari korupsi sampai harga BBM yang selangit.

Pola kampanye partai politik sampai hari ini masih sama, tidak ada yang ‘menjual’ program yang kongkrit, padahal ini kan cara lama? Apa hal ini bukannya bisa berdampak-balik ke masyarakat dalam arti kata malah jadi malas untuk menggunakan hak politik mereka?

Sudah terbukti masyarakat malas menggunakan hak politik dalam hal pemilihan pemimpin. Itu terlihat dari hampir 50% suara abstain dari berbagai pemilihan kepala daerah (baik Gubernur maupun Bupati). Tapi dalam hal yang lain, saya lihat masyarakat nggak malas-malas amat kok. Class action soal banjir, soal jalan tol, dll, sudah terjadi. Mendaftarkan berbagai kasus ke Mahkamah Konstitusi terjadi. Demo dan tuntutan soal tanah, soal kesejahteraan buruh terjadi. Menggunakan hak politik soal pemilihan pemimpin memang menurun, tapi hak politik lainnya lebih jalan. Memang betul urusan pemilihan pemimpin adalah hal yang crucial, tapi pengawasan juga crucial. Yang saya lihat, masyarakat udah mulai sadar dan jalan urusan hak politik soal pengawasan.

Anda percaya dengan konsep pemberdayaan publik?

32 tahun rejim Suharto yang mengamputasi dan melumpuhkan rakyat di segala bidang, perbaikannya butuh waktu juga. Pemberdayaan publik butuh waktu. Kita nggak bisa menutup mata kalau pemberdayaan publik itu yang memulai justru LSM-LSM yang bener. Kesadaran buruh bukan muncul begitu aja, itu hasil temen-temen LSM yang bener yang mendampingi buruh sejak Suharto masih berkuasa dan temen-temen LSM ini menanggung konsekuensinya: ada yang dipenjara, ada yang dihilangkan (baca: dilenyapkan nyawanya). Program Grameen Bank yang memberdayakan ekonomi perempuan-perempuan miskin di pedesaan ataupun perkotaan dilakukan oleh teman-teman LSM perempuan juga.

Ini kan bukan sesuatu yang dipahami meluas oleh publik?

Karena media mainstream kita amat jarang mengangkatnya. Media mainstream kita kebanyakan hanya mengangkat soal LSM ketika ada skandal, ada yang negatif. Ukurannya gampang: mekanisme pasar (oplah). Teman-teman LSM kebanyakan nggak punya unsur selebritas yang bisa dijual media. Hal ini nggak bisa dipungkiri. Buat saya, kita semua (yaitu orang-orang yang peduli baik secara individu ataupun yang bergabung di organisasi atau LSM) punya PR besar untuk pemberdayaan publik. Berangkat dari kapasitas kita masing-masing aja. Saya sebagai publisis, punya PR besar untuk hal sederhana pemberdayaan wartawan supaya bisa nulis tentang film dengan proporsional. Karena seperti kita tahu, banyak wartawan nggak nulis soal filmnya tapi hanya soal selebritinya yang ada/main di film. Belum lagi ada wartawan-wartawan yang sok tahu, sok membaca film tapi tetap salah. Padahal, pembuat film juga butuh wartawan yang kritis sebagai sparing partner supaya perfilman kita bisa maju. Dan yang terakhir yang perlu diingat: kekuasaan selalu punya kepentingan besar untuk meniadakan pemberdayaan publik.

1998: Saya hanya berusia 18 tahun

Ardi Yunanto-penulis dan editor www.karbonjurnal.org

Saya mungkin satu dari sekian banyak orang yang tak memiliki kenangan berarti tentang tragedi 1998. Semua saya lihat layaknya generasi zaman saya, lewat televisi. Politik sebelumnya hanyalah kotoran. Sejumlah berita buruk di koran yang tak pernah saya baca. Kami pun generasi apolitis Orde Baru. Di kelas 3 SMUN 36 Rawamangun yang tak kenal tawuran itu, kami hanya akrab dengan sex, drugs & rock n’ roll.

Namun penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996 itu memaksa saya peduli. Setidaknya obrolan tentang negara kacau-balau ini mulai hadir di antara semilir asap ganja, denting botol vodka murahan, dan bising musik punk saat itu. Kami memang belum sadar politik sepenuhnya. Namun kanan atau kiri, militer atau sipil, tak penting bagi kami saat itu. Siapa saja bisa menjadi Bung Besar seperti tulisan Orwell yang baru saya baca bertahun-tahun setelahnya.

Situasi lalu semakin memanas. Mungkin itu juga yang membuat kami mudah berang, lalu mengorganisir demonstrasi demi menurunkan Bapak Kasiran, kepala sekolah kami yang korupsi. Aksi 2 hari itu tak seberhasil demonstrasi SMA di Solo seperti dalam video Steve Pillar Setiabudi di Antologi 9808 ini (Sekolah Kami, Hidup Kami). Dan tak saya temukan berkas apapun di internet sekarang, padahal semua stasiun televisi kecuali RCTI datang meliput siang itu.

Setelah itu, terjadi penculikan beberapa aktivis. Lalu penembakan mahasiswa Trisakti. Politik kembali hadir sebagai kotoran. Hanya sekarang baunya lebih menyengat. Saya tak menyangka yang terakhir itu bisa memicu kerusuhan esok harinya.

Hari itu saya pulang dari sekolah, melewati portal-portal kompleks Kelapa Gading Permai yang banyak ditutup. Dari televisi di rumah teman saya, kerusuhan itu saya lihat. Malam harinya adalah penjagaan pertama di sekeliling rumah nenek saya, tempat saya tinggal. Malam mencekam. Sekumpulan bapak-bapak, para tetangga yang semula tak pernah saling kenal tiba-tiba harus terlibat percakapan kering. Berkumpul karena ketakutan yang sama. Lengkap dengan mantel dan pentungan yang semuanya terlihat baru, sebaru wajah-wajah tegang itu. Ironis. Kami berkumpul karena ketakutan yang sama.

Saya akhirnya lebih tertarik pindah ke warung tongkrongan di kompleks Walikota dekat kantor Polisi. Bersama teman-teman saya yang pemabuk dan penjudi namun akrab dengan polisi yang pasti punya informasi lebih banyak soal perusuh di luar kompleks. Hari kerusuhan pertama itu belum ada perintah tembak di tempat. Teman saya bercerita bahwa warung dekat rumah temannya sudah berubah menjadi toko kamera hasil curian. Mesin ATM di Dwima Plaza di By Pass diangkut penjarah layaknya lemari es dan kasur. Sejumlah perempuan Cina diperkosa lalu dilemparkan ke lautan api. Semua bangunan tiba-tiba menjadi milik pribumi. Sebuah pesta pora gratis. Kami menerima laporan lengkap dari mereka yang siangnya berada di luar. Saya tak melihat apa yang teman-teman saya lihat. Juga tak melihat bagaimana para aparat keparat itu mengunci perusuh dari luar dan membakar mereka segedung-gedungnya. Ratusan orang mati. Salah satunya kemudian membuat Toserba Yogya di Klender, Jakarta Timur jadi berhantu berbulan-bulan sesudahnya. Teman saya beruntung hanya melihat mayat gosong dibaringkan di depan kakinya ketika ia sedang menonton orang-orang loncat dari gedung yang baru dibakar, tidak diculik seperti salah satu aktivis karena melihat hal yang sama.

Dua malam itu begitu aneh. Kami berbicara tentang teror di luar kompleks seperti habis menonton film laga Hollywood. Kami tahu bahwa rakyat memang bisa seganas itu setelah lapar berkepanjangan, namun kami juga tahu bahwa mereka tak akan sebuas itu kalau tidak diprovokasi. Sepertinya Orde Baru yang berakhir tak lama setelahnya, harus mengakhiri rezimnya dengan kekerasan lagi, seperti bagaimana mereka mengawalinya dengan pembunuhan sekitar 600.000 orang PKI dimana-mana. Militer sekali lagi ingin tampil sebagai penyelamat dari kerusuhan yang mereka ciptakan sendiri.

Mungkin malam itu kami lebih ingin menghibur diri. Tak melulu takut seperti ketegangan yang jelas terpancar dari wajah hansip dan polisi setiap kali mereka mendengar laporan bahwa perusuh sudah sampai di depan gerbang Kelapa Gading Permai dan sedang dihalau polisi lain. Saya tak pernah melihat seperti apa itu terjadi, pun dalam laporan-laporan televisi setelahnya. Malam itu kami hanya bercanda dan berandai-andai dengan ceria, tentang apa saja yang mau kami ambil bersama-sama dengan perusuh itu jika mereka berhasil sampai di Mal Kelapa Gading. Teman saya ingin mengambil baju, celana, sementara saya ingin mengambil kaset. Seakan siapapun yang memiliki apa yang tidak kami miliki boleh kami ambil harta-bendanya. Kami, remaja kelas menengah ini bisa berpikir seperti itu, tak heran mereka yang lain bisa menjarah seganas itu. 

Namun jauh di dalam mata kami, saya melihat ketakutan yang sama. Semua candaan itu hanya berusaha menyegarkan malam yang semakin membusuk. Bisakah kami ada di sana, bersama para perusuh itu, menjarahi barang-barang yang bukan milik kami? Betapapun kami ingin memilikinya setiap kali kami mencuci mata di mal? Barang-barang yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang yang salah satunya tinggal di sekitar kami? Kami tak tahu harus menyalahkan siapa waktu itu. Kalaupun ada, ia serupa hantu. Kami hanya diam karena yakin tak akan ada yang percaya pada apa yang masing-masing kami lihat atau pikirkan. Atau jika ada, hal itu akan merusak suasana yang sudah demikian mencekam, dengan sesuatu yang tak setiap hari kami lihat. Hantu itu. Kekerasan itu. Provokator itu. Tentara itu. Rakyat beringas itu.

Kekerasan bagi saya seperti hantu. Ia ada namun tak pernah saya lihat langsung. Saya tak mengalami apa yang teman saya alami. Juga lanjutan tragedi setelah malam itu. Teman saya gagal memapah teman lain karena sebutir peluru telanjur menghancurkan kepala itu, tepat dalam pelukannya, sewaktu peristiwa Semanggi. Saya sudah pindah ke Malang untuk kuliah. Semua hanya ada berupa cerita.

Perusuh-perusuh malam itu tak pernah datang. Mereka tertahan di gerbang. Jarak mal Kelapa Gading yang 1 kilometer dari gerbang terlalu jauh untuk ditempuh.

Tak lama setelahnya, saya melihat Suharto mengundurkan diri di televisi. Saya tahu masa depan kami tak akan sama lagi saat ini. Walau dalam pikiran saya saat itu, siapapun pemerintahnya, negara ini akan sama saja. Dalam pikiran saya sekarang, reformasi tak ubahnya seperti Angkatan 66 yang sama-sama keblingernya dengan G30S, yang aksi menyelamatkan Sukarnonya dari militer dijadikan dalih bagi militer itu untuk menumpas PKI. Semua yang katanya berjuang atas nama rakyat pada akhirnya bergelimang kekuasaan di atas sana. Kiri dan kanan. Komunis dan antikomunis. Sesegera mereka berkuasa mereka akan menjadi Bung Besar.

Sekarang saya seringkali berandai-andai, apa yang terjadi jika Sukarno tak pernah dikudeta. Mungkin apa yang kita alami akan sungguh lain sama sekali.
 
Ditulis untuk Antologi 9808, Jakarta, September 2008
  

Mencuri Dengar Kekuatan Narasi ‘Kecil’,  Mengenang Harga dari Diam|Rangkaian Diskusi “9808”| Mei-Agustus 2008

Proyek Payung terus mengupayakan perekaman opini dalam bentuk sejumlah catatan dari arena diskusi usai pemutaran “9808”. Berikut adalah hasil dari sejumlah forum yang berlangsung sepanjang 31 Mei hingga 28 Agustus 2008 di beragam kota.

31 Mei 2008| “Menyoal Kebangsaan di dalam Film Indonesia”|Jakarta  

Dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional, Situs Rumah Film mengelola pemutaran sejumlah film Indonesia yang bertempat di Aula Paramadina. Termasuk di dalam rangkaian film yang dipilih Rumah Film adalah “9808”.

Pemutaran dan diskusi “9808” itu berlangsung pada tanggal 31 Mei 2008. Hadirin terdiri dari kalangan mahasiswa dan mahasiswi, sebagian besar dari  IAIN Jakarta. Para pembicara adalah Hikmat Darmawan, Krisnadi, Eric Sasono (Rumah Film), Ariani Darmawan, Prima Rusdi (Proyek Payung).

Diskusi sore itu dibuka dengan ucapan terima kasih dari salah satu mahasiswi kepada Ariani Darmawan (sutradara Sugiharti Halim), “Saya betul-betul tidak tahu pernah ada begitu banyak peraturan yang mendeskriminasikan etnis Cina. Jadi saya malu, karena diam-diam sudah ikut mengamini peraturan-peraturan itu.”  Sementara, salah seorang mahasiswa, melemparkan pertanyaan kepada forum mengenai fakta bahwa terlahir sebagai umat Muslim di Indonesia seyogianya bisa membuat seseorang memahami pula konsep multi kultur. Menurutnya yang terjadi kerap kali justru ada upaya penyeragaman yang tak jarang dipaksakan. Forum juga menjadi sarana berbagi cerita mengenai keberadaan penonton saat peristiwa Mei’98 terjadi. Di penghujung diskusi salah seorang peserta mengingat pengalamannya saat masih menjadi pelajar tingkatan SLTA. Saat itu terungkap kasus korupsi yang dilakukan oleh jajaran pengajar di tempat peserta diskusi bersekolah. Tindakan yang diambil adalah meminta pelaku untuk mengundurkan diri, namun para pelajar juga staf pengajar yang lain sepakat untuk menyimpan kasus itu dari kalangan luar sekolah dengan alasan malu membongkar aib, “Setelah menonton film ‘Sekolah Kami..” saya berpikir kalau saja ada yang membongkar kasus korupsi sekolah saya, dan membicarakannya dengan terbuka 12 tahun silam, mungkin penanggulangan korupsi dari prakarsa ‘orang biasa’ justru lebih efektif kalau dilakukan secara terbuka.” Jadi masihkah diam itu emas? Tanyanya lagi.

Menutup diskusi sore itu, Hikmat Darmawan dan Krisnadi merangkum soal kekuatan narasi kecil (baca: suara orang ‘biasa’, bukan penguasa, atau ‘tokoh’) yang sebetulnya sudah lama seakan terlupakan dari film-film Indonesia. Eric Sasono menambahkan, ada kemungkinan untuk menyikapi perubahan yang begitu drastis dan berskala besar seperti halnya reformasi satu dekade silam, memang perlu waktu. Dan bisa jadi waktunya adalah sekarang.

29 Juni 2008|Selasar Art Space|Bandung

Selasar Art Space memutar “9808” selama dua hari berturut-turut (28 dan 29 Juni), dan menggelar satu kali diskusi usai pemutaran di hari kedua. Diskusi dipandu oleh moderator Heru Hikayat.

Dibanding dengan sejumlah pemutaran sebelumnya, kali ini mayoritas partisipan Proyek Payung hadir untuk berdiskusi dengan penonton mereka di Bandung. Menarik mencermati sejumlah isu yang muncul di forum. Diantaranya soal peran publik sebagai pelaku perubahan bila dikaitkan dengan profesi yang bersangkutan. Ada argumen yang menyoal ‘keleluasaan’ film dan pekerja film dilihat dari cara kerja serta hasil akhir pekerjaan, bila dibanding dengan-katakanlah-pelaku seni lainnya. Diskusi lalu berkembang ke arah kebebasan pilihan individual dalam menentukan perannya sebagai pelaku perubahan, yang menurut para pekerja film yang hadir justru lebih relevan untuk dibicarakan.

11 Juli 2008|BEM SI|Bandung

Biro Eksekutif Mahasiswa mengadakan diskusi usai pemutaran “9808” dengan penekanan pada peran mahasiswa saat ini. Ada pertanyaan besar soal relevansi demonstrasi mahasiswa saat ini. Masihkah perlu?
Merujuk pada film “Sekolah Kami, Hidup Kami” (arahan Steve Pillar Setiabudi), sebagian peserta diskusi melihat bila murid-murid SMA saja bisa bertindak, mengapa mahasiswa tidak? Namun forum lalu membicarakan soal perlunya melihat relevansi tindakan dengan konteks saat sebuah tindakan perlu diambil, “Ini bukan soal anak SMA berani bertindak, sementara kita tidak.”

Agung Baskoro dari UGM mengatakan penuturan film-film di dalam kompilasi “9808” yang menyuarakan pendapat ‘orang biasa’,  memberinya cara pandang baru. Karena, menurutnya, “Orang biasa kini harus lebih cerdas Yang harus kita pikirkan, perubahan harus dilakukan oleh siapa pun. Lalu, ada banyak hal yang perlu ditinjau ulang, dan kita harus melihat jauh ke depan.”

6 Agustus 2008|Mes 56|Yogyakarta

Pemutaran dan diskusi yang bertempat di Mes 56 dihadiri sejumlah mahasiswa dan seniman/perupa. Obrolan berlangsung secara informal namun menarik. Fokus percakapan lebih ditekankan pada keberadaan penonton saat terjadinya peristiwa Mei’98 itu.

Ika (mahasiswi, 21 tahun), “Yang paling saya ingat itu, baru saja lulus SD.  Pas lagi ribut demo-demo, saya jagain meja makanan di depan rumah. Rumah saya di pinggir jalan (Ket.: Alun-alun Selatan). Makanan itu memang sengaja disediain nenek saya buat mahasiswa-mahasiswa yang lagi pada demo dan lewat depan rumah. Yang paling saya ingat lagi, nenek saya seneng banget waktu ada demo itu. Beliau antusias banget, lihat demo dan terus bilang “Kayak zaman PKI dulu.” Waktu itu saya masih bingung. Kan, masih SD. Tapi, untuk jawab pertanyaan di atas, yang paling-paling saya ingat adalah lagu dan yel-yel yang dinyanyikan mahasiswa, “Gantung, gantung Soeharto di tiang Monas.” Hano, “Saat itu saya masih di SLTP. Saya menyaksikan demo di Bundaran UGM karena dekat dari sekolah. Dan, karena sekolahku juga dijadikan basecamp polisi. Harus jalan kaki dari sekolah ke rumah kira-kira 7,5 km karena bus pada aksi mogok. Takut demo.” Angki Purbandono (seniman, 37 tahun),”Waktu itu saya sudah di Yogyakarta. Sempat beberapa waktu ikut mendokumentasikan beberapa di UGM, Jalan Solo, dan Jalan Gejayan. Sempat merespon satu showroom (yang sebelumnya sudah dihancurkan massa) di Jalan Solo dengan beberapa teman. Dijadikan ‘ruang pamer’ visual. (Ada) graffiti, fotocopy art, dan lain-lain, yang merespon pergolakan saat itu. Pitra (peneliti, 24 tahun). Ia masih di bangku SMP. Tanggal 12 Mei seharusnya ia menghadapi ulangan umum. Tapi, dari tanggal 9 sekolah diliburkan dan ulangan ditunda.

Deni (seniman, 29 tahun), “Aku dalam masa jadi pengangguran terselubung. SMA dah kelar setahun sebelumnya. Kuliah juga belum. Lagi siap-siap mau ikut ujian masuk ISI Yogyakarta. Di rumah, aku cuma bisa ngikutin perkembangan situasi politik lewat TV sama koran. Maklum, lagi nganggur, jadi bisa nongkrongin TV yang isinya, ya, seputar huru-hara, hura-hura. Mas Ayu (dosen, 38 tahun),”Waktu itu aku sedang tidak di Yogyakarta. Tidak di manapun di Indonesia. Hanya melihat semuanya dari TV, Dan, pingin cepat-cepat pulang ke Yogyakarta.” Gembong (seniman, 27 tahun), “Masih SMA, nakal, tiap hari mabuk. Harus mabuk! Akhir Mei 1998, aku pergi ke AS buat homestay alias liburan yang berkedok belajar! Kurs dolar waktu itu Rp. 15.000,-! Kalau ingat itu, aku nyesel banget dan ngerasa beruntung sekaligus bersalah juga. Sampai sekarang… aku masih ngerasa bersalah dan sadar kalau bapakku baik banget!”

28 Agustus 2008|Fakultas Seni Rupa dan Desain-Universitas Tarumanegara|Jakarta

Pemutaran dan diskusi “9808” yang diselenggarakan oleh Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Tarumanegara menghadirkan Ignatius Heryanto selaku moderator, Edwin, Wisnu Suryapratama, dan Prima Rusdi dari Proyek Payung selaku pembicara.

Mayoritas mahasiswa yang hadir adalah mahasiswa angkatan baru, dan berasal dari beragam bidang studi/fakultas. Jumlah mereka kira-kira 100 orang. Di antara hadirin juga hadir sejumlah alumni, termasuk aktifis angkatan’98 silam yang pernah ‘bertemu’ dengan Wisnu Sp saat keduanya ditangkap oleh intel kala itu.

Salah seorang siswa baru dengan terbuka mempertanyakan hal apa yang bisa dijadikan tolak ukur bahwa situasi saat ini lebih baik? Yang ia lihat adalah ketidakstabilan harga-harga bahan makanan pokok, juga bensin, mahalnya pendidikan, dan unjuk rasa di mana-mana. Saat reformasi terjadi sepuluh tahun silam, ia masih anak-anak, sehingga ia sendiri yakin pasti banyak hal yang lolos dari pemahamannya kala itu. Pertanyaan ini dijawab oleh Arie Purnama (alumnus UnTar dan mantan aktifis mahasiswa), “Paling tidak, (hampir) semua hal yang terjadi saat ini, bisa kita lihat kasat mata, bukan dari kasak-kusuk. Juga, bahwa sekarang kita bisa bicara terbuka seperti di forum ini, tanpa perlu izin kanan kiri atau resiko keamanan lainnya.”

Diskusi berkembang ke arah peran individu/massa dalam mengisi reformasi, yang juga diperkuat oleh para alumnus UnTar yang mengatakan saat mereka menjadi aktifis di era’98, kerangka berpikir mereka adalah untuk menjatuhkan rezim agar perubahan bisa terjadi. Namun, untuk perubahan bisa terjadi, mereka sadar betul semua orang harus berperan di dalamnya. Arie Purnama setuju dengan apa yang disampaikan Wisnu Sp di dalam filmnya, “Catatan Mantan Demonstran”, bahwa bukan tugas mahasiswa lagi untuk turun ke jalan saat ini. 

Akhir kata, demikianlah catatan dari beragam forum diskusi usai pemutaran “9808” sepanjang bulan Mei hingga akhir bulan Agustus 2008. Baik pemutaran maupun diskusi kompilasi film-film memperingati satu dekade reformasi ini masih akan terus dilanjutkan di beragam ruang publik di sejumlah kota.  

Rekaman Peristiwa 1998 (1)

Dua foto di atas adalah hasil rekaman kamera Dave Lumenta, akademisi yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa FISIP UI.

Sedang Apa Saya Saat Itu? Sejumlah Pikiran Setelah Pemutaran “9808” di Ruang Mes 56

Grace Samboh, Mahasiswa

Masih ingat apa yang Anda lakukan pada Mei 1998? Hm, jujur saja, saya tidak ingat persis. Sejauh ingatan saya, waktu itu saya terbengong di rumah karena dilarang berkeliaran di luar rumah oleh kedua orang tua saya. Saya memang kurang suka menonton TV, sehingga, sejauh yang saya tahu, yang dilakukan mahasiswa pada waktu itu di depan Gedung DPR/MPR adalah demonstrasi biasa saja. Saya tak pernah menyangka bulan itu di kemudian waktu menjadi sangat bersejarah.

Ketimbang demonstrasi untuk reformasi, yang saya ingat malah kakak sepupu saya yang berangkat ke Gedung DPR/MPR dengan segenap teman-teman perempuannya dan make up kitnya. Bukan kerusuhan dan penindasan etnis Cina yang saya ketahui saat itu, melainkan ada semacam pemberontakan rakyat kecil yang membuat sejumlah pertokoan bebas diambil barang-barangnya. Ya, saya memang masih sangat muda ketika itu.

Tidak seperti Ika (21, mahasiswa) yang sampai hari ini masih dengan baik menyimpan dalam kepalanya ingatan akan yel-yel demonstrasi mahasiswa yang lewat di depan rumahnya. Yah, nenek Ika memang menaruh sebuah meja penuh makanan di depan rumahnya (di Alun-alun Selatan) bagi para mahasiswa yang berpeluh-peluh membela kepercayaan mereka akan kebebasan negara ini. Satu-satunya yang saya ingat dari tahun itu adalah kemudaan, kenakalan, dan ketergantungan saya kepada kedua orang tua saya. Saya masih bersekolah di Jakarta ketika itu.

Beberapa tahun kemudian, saya berada dalam sebuah panti rehabilitasi. Di sana, saya bertemu dengan seorang perempuan yang tak pernah membuka mulutnya untuk berbicara. Satu-satunya waktu saya bisa mendengarkan suaranya adalah ketika ia bernyanyi dalam ritual ibadah. Ia takut kamar mandi. Ia buang air kecil  di ruang cuci baju yang terbuka. Sehari-harinya para perawatlah yang membersihkan badannya menggunakan waslap. Saya, kemudian, tahu bahwa ia salah satu korban pemerkosaan, bersama sekian puluh perempuan etnis Cina lainnya, di dalam kamar mandi sebuah mal di Mangga Dua. Saya bingung. Ada apa di Mei 1998?

Andre (35, seniman) mengisahkan bahwa tahun itu adalah masa produktifnya membuat video jurnalistik. Beberapa stasiun TV luar bersedia membayar mahal untuk dokumentasi demonstrasi mahasiswa di seputar Yogyakarta. Angki (37, seniman) juga menceritakan bagaimana ia dan segenap teman-teman seniman lainnya sempat merespon satu showroom di Jalan Solo. Reruntuhan gedung bekas dihancurkan dan dibakar massa itu mereka jadikan semacam ruang pamer, dengan karya-karya graffiti, fotocopy art, dan lain-lain. Mereka merespon pergolakan yang terjadi saat itu.

Pitra (24, peneliti) yang seumuran dengan sayapun mengingat dengan baik apa yang terjadi. Menurutnya, tanggal 9 Mei harusnya jadwal Ulangan Umum Bersama, namun diundur karena ketegangan kondisi politik. Heboh-heboh demonstrasi mahasiswa saat itu membuat neneknya berpetuah “Besok kalau jadi mahasiswa, nggak usah demonstrasi!” Wah, ingatan saya mungkin memang berantakan. Tapi, sekarang saya tahu (hampir) semua yang terjadi kala itu.

Pergerakan yang dilakukan Ibu Sumarsih, membuat saya tidak lagi bertanya-tanya apa yang dilakukan sejumlah orang yang berbaris di seberang Istana Presiden setiap Kamis. Kegundahan teman-teman saya yang beretnis Cina dan tidak paham bagaimana selebrasi (dan makna sesungguhnya dari) Imlek dapat saya maklumi. Keganjilan sikap si perempuan yang saya temui di panti rehabilitasi tadi pun menjadi hal yang bisa saya pahami. Sekarang saya jadi berpikir, apa, ya, yang dilakukan para mahasiswa yang mengompori demonstrasi ketika itu? Ini juga dijawab oleh salah film dalam antologi “9808”. Apakah sekarang saya harus mengenang pengalaman saya pada Mei 1998? Saya tetap merasa tidak.

Semua orang punya ingatannya masing-masing akan tahun itu. Sedang Apa Saya Saat Itu? merangkum pengalaman sejumlah orang dari generasi yang berbeda. Sedikit banyak saya merasa terwakili dengan salah satu dari mereka yang malah berpikir untuk mengambil kaset Boyzone di supermarket dekat rumahnya. Sekarang saya memang merasa Mei 1998 menjadi titik yang sangat merubah negara ini. Walau saya akhirnya sukses menjadi ‘rakyat didikan’ Soeharto yang apolitis, saya tetap merasa itu penting.

Kalau semua itu tak pernah terjadi, saya mungkin tidak akan punya pengalaman bergaya Muslim. Kala itu, pulang kerja dari Pejaten, saya harus menyetir sendiri melalui Kemang. Atasan saya dengan telatennya memasangkan kerudung sebelum saya pulang kantor waktu itu. “Supaya tidak dicegat FPI. Mereka lagi gencer nggrebek kafe-kafe disana. Ini, kan, bulan puasa,” katanya. Seandainya demonstrasi-untuk-reformasi itu tak ada, mungkin para siswa SMA di Solo tidak akan mempunyai sekolah yang punya pengeluaran untuk peralatan multimedia padahal ruangannya saja tidak pernah ada di sekolah mereka. Tanpa kejadian itu juga, mungkin saya tidak akan pengalaman seru digeledah dan harus melewati detektor logam untuk beribadah Natal di gereja.

Yah, Mei 1998 memang bulan bersejarah bagi negara kepulauan ini! Sekarang, sepuluh tahun sekian bulan kemudian, hampir tak ada yang tak ingat kejadian itu. Walau kenangannya berbeda, pengaruhnya dalam kehidupan keseharian sebagai warga negara rasanya tak banyak berbeda. Ayo, apakah Anda ingat apa yang Anda lakukan ketika itu?

Yogyakarta, Agustus 2008

Peristiwa Mei 1998 Tidak Pernah Terjadi

Oleh Gustaff H. Iskandar*

Makalah ini ditulis untuk pengantar pada katalog penayangan kompilasi sepuluh film pendek ‘9808’ (produksi Proyek Payung) di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 28-29 Juni 2008. Penulis adalah seniman, bekerja untuk Common Room Networks Foundation .

Apa yang benar-benar bisa saya ingat tentang Peristiwa Mei 1998? Rasanya tidak terlalu banyak. Ada sebagian dari diri saya yang ingin menghilangkan beberapa potong peristiwa dalam ingatan itu. Kalau ditanya kenapa, saya sendiri merasa enggan untuk menjawabnya. Mungkin ini adalah gambaran dari kemarahan, rasa kecewa, trauma atau mungkin sebentuk kebingungan ketika berhadapan dengan realitas yang begitu konyol dan menyedihkan. Di dalam benak saya saat ini, apa yang terjadi 10 tahun yang lalu tampaknya tak jauh berbeda dengan sebuah pertunjukan film atau teater dalam sebuah panggung perhelatan raksasa. Sebuah perayaan yang mirip seperti sebuah pesta orgi.

Dalam hal ini, teks demokrasi, perubahan dan reformasi yang hadir diantara kerumunan demonstran, kerusuhan dan kematian ratusan korban hanyalah sepotong fragmen dalam sebuah drama yang bercerita mengenai kolapsnya sebuah negara yang dibangun atas dasar mitos mengenai kejayaan dan romantisme. Peristiwa Mei 1998 adalah pertunjukan agung yang tenggelam diantara jutaan sekuel kenyataan yang terjadi di dalam sebuah ruang epilepsi. Hadir sesaat untuk kemudian menghilang digantikan oleh jutaan peristiwa yang saling berebut untuk menjadi tontonan walau hanya dalam hitungan detik. Kenyataan sepertinya memang tidak pernah benar-benar terjadi di dalam ruang simulasi.

Tapi, apakah benar peristiwa Mei 1998 hanya merupakan gambaran dari sebuah kenyataan yang bermutasi menjadi sebuah mimpi buruk? Waktu itu saya dan beberapa kawan masih berstatus mahasiswa. Terkait dengan peristiwa gerakan Mei 1998, saya masih ingat akan ucapan teman saya yang menyatakan bahwa saat itu sejarah telah memilih untuk menghampiri tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. “Kita tidak pernah betul-betul menciptakan sejarah pada hari itu. Yang ada, sejarah yang menghampiri dan memaksa kita untuk menerima kenyataan tanpa ada kesempatan untuk menolak.” Begitu kira-kira celoteh teman saya yang sayup-sayup masih terbayang dengan latar belakang suasana demonstrasi mahasiswa yang begitu riuh rendah.

Beberapa saat sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi, ada banyak orang yang percaya bahwa pada saat itu momentum perubahan benar-benar akan datang. Saya mungkin salah satu diantara orang-orang itu. Namun ada banyak orang yang kemudian harus kecewa ketika menyadari bahwa harapan yang mereka miliki perlahan telah berubah menjadi sebuah fiksi yang barangkali tidak memiliki kaitan langsung dengan kenyataan hari ini. Setelah 10 tahun bergulir, harapan mengenai perubahan itu kini telah tergerus oleh situasi negara yang terancam bubar karena korupsi, autisme sosial yang akut dan konflik kepentingan yang tidak terkendali.

Kini, dihadapan kita telah hadir 10 karya film pendek yang dilatarbelakangi oleh peristiwa Mei 1998. Proyek ini merupakan sebuah upaya untuk membuka ruang dialog yang sekaligus merupakan sebuah sikap untuk melawan lupa, sehingga peristiwa Mei 1998 dapat dimaknai sebagai sebuah peristiwa yang monumental. Seorang kawan menuliskan bahwa sejarah adalah upaya manusia untuk memaknai kehidupan yang sekaligus merupakan sebuah cara untuk mempertahankan habitatnya sebagai mahluk yang dikaruniai akal. Oleh karena itu, sikap untuk melawan lupa barangkali merupakan satu-satunya cara untuk melawan hegemoni dan proses dehumanisasi, sehingga kita dapat terus mendorong (mimpi) mengenai perubahan ke arah yang lebih baik. Di luar itu mungkin peristiwa Mei 1998 tidak pernah benar-benar terjadi.

Kyai Gede Utama, 14 Juni 2008

10 Tahun Setelah Tragedi dan Komunitas Klender (Simpul untuk Keadilan dan Demokrasi, Edisi 128/Tahun IV)

Oleh Nurita Siagian*)

Kebakaran terjadi pada Sabtu, 17 Mei 2008 pukul 12.00 WIB di Klender, Jakarta. Peristiwa itu mau tak mau memicu kembali kenangan akan peristiwa (tragedi kerusuhan) Mei 98 di tempat yang sama. Bila dulu anggota keluarga mereka hilang bersama api yang membakar pusat pertokoan Jogja-Klender, kini sedikitnya 150 rumah mereka habis dilalap si “jago merah.” Dalam tempo sehari saja, 150 kepala keluarga telah kehilangan tempat tinggalnya karena menjadi korban kebakaran hebat tersebut.

Dalam peristiwa kebakaran di Klender tersebut juga terdapat 10 keluarga korban Tragedi Mei’98. Mereka kembali harus menanggung kerugian dan kesedihan yang amat dalam, sama halnya seperti 10 tahun silam. Betapa tidak, belum lagi air mata kering karena harus menahan beban dan bekas luka dari peristiwa 10 tahun lalu, yang sampai saat ini kasusnya tidak kunjung diadili secara tuntas, mereka harus dihadapkan pada kenyataan pahit kembali dengan kehilangan tempat tinggal mereka satu-satunya.

Negara Yang Selalu (Sengaja) Teledor
Korban dari kebakaran amat banyak karena sulitnya memadamkan api di perumahan padat penduduk tersebut, akibatnya api cepat menyebar jadi kebakaran. Petugas pemadam kebakaran terlihat sangat kesulitan untuk menjangkau lokasi kebakaran karena harus melewati jalan-jalan kecil di perumahan padat tersebut. Namun ketika upaya pemadaman sedang dilakukan oleh petugas pemadaman kebakaran sedang berlangsung, suatu kejanggalan pun kemudian terjadi. Tiba-tiba sebuah helikopter kepolisian terbang rendah tepat di atas kobaran api. Putaran baling-baling helikopter tersebut tentu saja mempercepat penyebaran api ke daerah pemukiman penduduk sekitar kebakaran. Kobaran api pun semakin membesar ketika helikopter tersebut berhenti tepat di atas lokasi kebakaran. Rumah-rumah penduduk yang tadinya tidak terjilat api pun akhirnya turut menjadi korban kebakaran.

Apakah ini sebuah kesengajaan? Tidak ada yang tahu, yang jelas akibat angin yang disebabkan oleh baling-baling helikopter tersebut menyebabkan semakin meluasnya daerah kobaran api di perumahan Klender. Jika ini sebuah kesengajaan, maka korban dan keluarga korban tragedi Mei’98 kembali menjadi korban dari kebiadaban Negara. Negara yang selalu (sengaja) teledor bertanggung jawab pada rakyat yang miskin dan lemah secara politik -seperti yang terjadi pada tragedi Mei 10 tahun yang lalu, ketika rakyat tanpa perlindungan keselamatan dan justru dituduh sebagai perusuh.

Korban dan Bantuan
Karena peristiwa tersebut menyebabkan mereka kembali harus merelakan hartanya yang paling berharga, yaitu tempat berteduhnya mereka selama ini. Untuk saat ini, mereka pun masih bertahan di puing-puing rumah mereka sebelumnya. Pilihan tersebut tentunya sangatlah berbahaya, karena bisa saja sewaktu-waktu dinding pembatas rumah yang masih berdiri dapat roboh seketika dan menimpa mereka. Namun sebagian lagi memilih untuk tinggal di tenda pengungsian. Kondisi di tenda pengungsian pun sama seperti tenda pengungsian lainnya di daerah bencana alam, yaitu jauh dari kondisi yang layak dan memadai. Para korban terpaksa harus berhimpit-himpitan karena sangat padatnya korban yang mengungsi ke tenda pengungsian. Kondisi yang tidak sehat di tenda pengungsian menyebabkan rentannya para korban terhadap berbagai macam penyakit. Fasilitas yang mereka terima di tenda pengungsian sangat sederhana dan ala kadarnya.
Telah ada bantuan berupa pakaian, obat-obatan, dan bahan makanan tetapi itu semua belum cukup untuk menutupi semua kebutuhan mereka yang begitu besar. Mereka masih membutuhkan bantuan dan pertolongan. Mereka tidak hanya membutuhkan batuan berupa materil, tetapi mereka juga membutuhkan bantuan moral berupa dorongan, dan spirit agar goncangan jiwa yang mereka rasakan dapat lebih ringan terasa. Mereka membutuhkan kita sebagai teman mereka. Kita yang mau dan rela memberi perhatian lebih kepada mereka. Menemani mereka, memberi dorongan dan motivasi, agar batin mereka kuat menghadapi semua akibat dari kejadian ini dan tidak merasa bahwa mereka sendirian dalam perjuangan untuk perubahan dan keadilan.

* Penulis adalah anggota IKOHI Jakarta, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
**Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau http://www.prakarsa-rakyat.org).

Ironi Nasionalisme (Makalah Diskusi Film “9808″ di RSY, Semarang)

27 Mei 2008
Oleh: Donny Danardono-Pengajar Filsafat di Unika Soegijapranata

Makalah ini disampaikan pada diskusi mengiringi penayangan kompilasi sepuluh film pendek ‘9808’ (produksi Proyek Payung) di Rumah Seni Yaitu, 27 Mei 2008, jam 21:00 WIB. Penulis adalah dosen filsafat di FH dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata.

Mei adalah bulan yang ironis di Indonesia. Seratus tahun lalu, 20 Mei 1908, saat sejumlah dokter Jawa di STOVIA mendirikan organisasi nasionalisme “Boedi Oetomo”, ia adalah bulan pencetus kebangkitan nasional. Tetapi Mei 1998 – saat krisis moneter Indonesia mencapai puncaknya; saat militerisme menggerus mahasiswa, buruh dan kelas menengah perkotaan yang menuntut reformasi ekonomi-politik, penghapusan KKN dan turunnya Suharto dari kepresidenan; saat sejumlah bangunan dan toko etnis Cina dijarah dan dibakar; dan saat ribuan (?) wanita etnis Cina atau yang sekedar diduga dilecehkan secara seksual, diperkosa dan dibunuh; dan ketika tak juga jelas siapa dibalik semua itu – dianggap sebagai bulan yang kelabu atau hitam, tapi gelap adalah yang tepat.

Nasionalisme yang mewabah di Asia dan Afrika pada awal abad 20 adalah semangat untuk melawan penjajah. Ia tak hanya menghadirkan perasaan senasib di kalangan terjajah, tetapi juga memotret bangsa-bangsa penjajah sebagai the other yang berabad-abad menyengsarakan mereka. Akhirnya ia berhasil mengusir Belanda dari bumi Nusantara.

Namun, istilah-istilah ‘perasaan senasib’ dan ‘penjajah sebagai the other’ adalah sepenuhnya karikatural. Negara dan bangsa Indonesia yang meraih kemerdekaan penuhnya pada 1949 tak mampu menyingkirkan berbagai institusi kolonial saat memulai ‘rumahtangga’ barunya. Ia bahkan – seperti yang dinyatakan di Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 sebelum diamandemen – menghidupi dirinya berdasarkan segala aturan hukum dan/atau lembaga kenegaraan kolonial sampai ada gantinya.

Maka, negara modern Indonesia, khususnya Orde Baru Suharto, adalah negara yang sering mengulang kebijakan dan kekerasan kolonial. Ben Anderson dalam “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective” menyebutnya sebagai …a curious amalgam of legitimate fictions and concrete illegitimacies” (Benedict R. O’G. Anderson, 1990, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Ithaka, Cornell University Press, hal. 95).

Ada ironis didalamnya: negara Indonesia merdeka, khususnya negara Orde Baru, adalah perpaduan antara fiksi-fiksi sah dan penuh kekerasan (illegitimacies) pembentuk sebuah negara-bangsa. Maka, ketika “semua” warga negara Indonesia memimpikan sebuah negara baru yang mampu memberi perlindungan dan kesejahteraan, yang terjadi adalah devide-et-impera. Sebab bila negara Hindia Belanda diisi oleh pejabat Belanda, negara dijabat oleh elite bangsa Indonesia dan di Orde Baru oleh militer khususnya Angkatan Darat; bila di era kolonial etnis Cina diberi peran ekonomi, karena sebagai pendatang ia lebih mudah dikontrol dibandingkan ‘pribumi’, maka situasi ini diulang dan dipastikan di Orde Baru (kecuali pada 1950-an ketika Sukarno dengan “politik-benteng”-nya yang gagal berusaha memunculkan pengusaha ‘pribumi’, seperti Ahmad Bakri, dengan memberi lisensi impor); maka pada tahun 1963 dan khususnya di Orde Baru etnis Cina kembali dikontrol agar hanya berperan di perekonomian. Tulisan Cina dan agama Konghucu dilarang. Dan sebaliknya, walau sudah berstatus WNI, mereka diwajibkan memiliki SKBRI.

Maka inilah salah satu ironi nasionalisme: berbagai kekerasan terhadap etnis Cina bukan hanya dampak, tetapi juga sarana mengkontrol negara-bangsa pasca kolonial ini. Jadi nasionalisme tak hanya dibangun dengan anti-asing (representasi penjajah), tetapi juga dengan meng-‘asing’-kan sejumlah warga negara. Situasi ini sungguh beda dari yang dibayangkan oleh Ernest Renan yang mengatakan sebuah bangsa atau semangat nasionalisme hanya hadir bila suku-suku pembentuk bangsa itu mampu ‘melupakan’ diri – keindonesiaan muncul ketika ‘melupakan’ diri sebagai ‘Madura’, ‘Sunda’, ‘Jawa” atau ‘Bali’. Di masyarakat postkolonial Indonesia proses ‘melupakan’ diri terjadi bersamaan dengan proses meng-‘asing’-kan etnis Cina.

Tampaknya nasionalisme Indonesia hanya mungkin dibangun kembali, bila ironi itu bisa dipahami dan diretas. Ironi lain yang juga harus dipahami adalah kesuksesan perekonomian sebagian besar (?) etnis Cina Indonesia bukan semata-mata hasil kerja keras mereka, tetapi juga produk kekerasan rasial kolonial Belanda. Belanda memilih etnis Cina sebagai pengusaha dengan pertama-tama mengeksklusikannya dari ‘pribumi’. Sehingga mereka terkesan sebagai pendatang yang tak punya tanah pijakan, selalu membutuhkan perlindungan Belanda dan mudah dikontrol. Tak demikian dengan ‘pribumi’ yang bila menjadi pengusaha akan segera mendirikan partai politik pengkontrol pemerintah. Maka, mungkinkah kita keluar dari berbagai ironi nasionalisme postkolonial tersebut tanpa mereproduksinya?

Tak mudah menjawab pertanyaan di atas. Tetapi menonton 9808 “Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia”, sebuah kumpulan dari 7 film dokumenter dan 3 film naratif tentang ironi nasionalisme itu. Film pertama yang berjudul “Di mana Saya” mendokumentasikan berbagai wawancara dengan sejumlah anak muda ketika peristiwa Mei 1998 itu terjadi. Sebuah ironi muncul di sini. Ketika seorang responden (seorang remaja putri) penggemar the Hanson dan Boyzone, yang tak paham situasi tanggal 12-13 Mei 1998, berharap bisa mendapat secara gratis mengambil kaset-kaset dari album terbaru dari dua grup band Amerika itu. Ironi bertambah ketika wawancara berlangsung juga ditayangkan foto-foto mesranya bersama ibu dan neneknya. Ibu dan nenek adalah lambang pemberi hidup. Tetapi bagaimana mungkin seseorang yang dihidupi oleh seorang ibu bisa berpikir untuk secara kekerasan ‘mengambil’ dari yang lain?

Film ketiga “Happiness Morning Light” adalah sebuah film naratif yang secara ironis berkisah tentang bagaimana seorang wanita yang tinggal di Beijing dan beribukan Suhartini (tampaknya wanita etnis Cina) yang meninggal dikerusuhan Mei 1998. Ia begitu sedih mengetahui kematian ibunya. Ia berteman dengan Huan, wanita Cina yang tinggal di Korea Selatang, dan berbahagia karenanya. Setelah itu ia memutuskan kembali ke Beijing. Lagi-lagi ini adalah sebuah ironi dari nasionalisme postkolonial.

Penderitaan si ibu yang WNI dirasakan oleh anaknya yang berkewarganegaraan Cina. Nasionalisme postkolonial tak bisa diselesaikan dalam lingkup negara-bangsa, tetapi harus keluar darinya.

Ironi-ironi nasionalisme itu membuat saya berpikir jangan-jangan nasionalisme adalah sebuah proyek yang usang. Globalisasi – dalam bentuk teknologi informasi – memang sudah melabrak batas-batas negara-bangsa. Kalau nasionalisme sudah usang, maka bagaimana seorang WNI memahami identitas ke Indonesiaannya? Bagaimana ia memahami identitas keetnisannya? Apakah keindonesiaan adalah sesuatu yang jelas dan pasti seperti ketika ia pertama kali di canangkan dalam sumpah pemuda Oktober 1928? Ataukah ia berubah terus? Kemampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang kiranya bisa membuat kita keluar dari ironi nasionalisme postkolonial Indonesia. (*)

Mencatat Sebagian “9808″ (RSY, Semarang)

25 Mei 2008
Oleh: Tubagus Svarajati -Pengelola Rumah Seni Yaitu

Kompilasi sepuluh film pendek “9808” ini menunjukkan kisahan yang variatif. Di antaranya saya terkesan oleh film “A Letter of Unprotected Memories” [Lucky Kuswandi, 2008, 09:37] dan “Meet Jen” [Hafiz, 2008, 16:39].

Film “A Letter of Unprotected Memories” menunjukkan suatu cara bertutur yang menarik. Bahwa film sebagai ‘gambar bergerak’ diwujudkan tidak dengan aliran sekuens gambar (pictures) akan tetapi menyuguhkan gambaran (images), yakni teks atau tulisan. Kiranya teks pinyin (termasuk pula terjemahan Indonesia dan Inggris-nya) itu patut dianggap sebagai representasi gambar-gambar. Pada pengertian ini sekuens atau urutan gambar terbentuk dari beralihnya satu teks ke teks yang lain.

Film “A Letter…” ini dengan kuat memaksa pemirsa untuk menggambarkan sendiri apa-apa yang berasal dari dan terkandung di dalam teks yang ditampilkan. Penonton dipaksa takzim membaca setiap teks yang muncul yang terkadang tidak berupa kalimat utuh, namun hanya sepenggal frasa. Tak ada musik atau citraan auditif muncul mengiringi kehadiran setiap teks. Sunyi. Teks berwarna merah (pinyin) itu dituliskan dengan latar warna hitam; hadir di tengah kegelapan. Alhasil, sutradara Lucky Kuswandi mendobrak kelaziman cara bertutur filmis di tengah-tengah kemajuan teknologi perfilman global. Dia menyajikan teknik produksi film yang sederhana. Sutradara tidak memanjakan penonton dengan rentetan gambar-gambar indah. Bayangkan efek mencekam yang muncul dari film yang minim suara atau audio ini.

Di sela-sela kehadiran teks itu sutradara sesekali menyisipkan sekuens gambar hidup. Gambar-gambar itu sebagian bersuara dan sebagian yang lain bisu. Salah satu gambar hidup itu menampakkan satu barongsai beraksi di tengah kerumunan massa. Geraknya diperlambat, tidak ada gemuruh pukulan tambur, tidak ada riuh kelimun. Ini satu sekuen yang sangat dahsyat. Apakah kaum Cina—direpresentasikan oleh kesenian barongsai—hadir sebagai kekuatan gigantik, namun seolah-olah di antara ada atau tiada, dalam kebisuan?

Awalnya film dibuka oleh kesan adanya suara orang menganggat gagang telepon. Kemudian meluncurlah dialog—atau lebih tepat monolog—yang diwujudkan dalam deretan teks pinyin itu. Apakah percakapan dalam diam itu bisa diartikan sebagai suatu eksistensialitas yang terbungkam? Apakah monolog itu menunjukkan keterbelahan jiwa si pencerita notabene kaum Cina?

Bagaimana menerangkan kehadiran waktu dalam setiap teks itu? Pada saat teks muncul—dan itu selalu dalam kebisuan yang melesak—adakah kiranya aliran waktu di sana? Pertanyaan-pertanyaan ini mengasumsikan bahwa hadirnya—atau katakanlah kesan tentang—waktu sangat penting, bahkan termasuk sorotan utama, dalam suatu film. Waktu di film berjalan dari satu titik ke titik berikutnya, meski tidak selalu linear. Ini berbeda dengan selembar foto di mana momen dibekukan dan waktu dihentikan.

Hemat saya, berpindahnya satu teks ke teks berikutnya mengindikasikan adanya aliran waktu. Jeda yang dirasakan penonton menegaskan hadirnya unsur kemewaktuan itu. Hal yang sama pun muncul dari tiap teks pada layar. Meski teks itu diam, aliran waktu muncul ketika penonton mengejanya. Jadi, unsur kemewaktuan hadir asosiatif di benak penonton. Cara baca seperti ini biasa diterapkan pula saat kita memandang selembar foto.

Penggunaan citraan (image) teks yang diperlakukan sebagai gambar (picture) atau still photo menunjukkan capaian Lucky yang melampaui cara kerja Anggun Priambodo (“Where was I”, Anggun Priambodo, 2008, 10:39). Pada filmnya Anggun memaparkan still photo dengan narasi di sebaliknya. Dengan begitu foto-foto itu hanya dijadikan alat bercerita, narasi sebagai panglima. Foto-foto pada karya Anggun tak mampu berdiam di wilayah ‘gambar bergerak’. Pada teks Lucky, hemat saya, terdapat sekaligus asosiasi dan narasi.

Beberapa gambar hidup di film “A Letter…” menunjukkan semiotika visual yang sangat kuat. Ada ditampakkan di sana gambaran buah-buah impor yang, konon, disebutkan berasal dari negara imperialis itu. Sang narator bercerita bahwa dia (atau kami: Cina; asosiasi di film) tidak menyukai buah-buahan lokal. Lantas muncullah teks Kami ga pernah percaya pada yang “lokal”. Sesaat kemudian tampil gambar seseorang—penjaga toko, pribumi—memegang sekotak buah stroberi impor. Gambar-gambar lain menunjukkan sekuens perempuan Cina—terkesan sebagai kelas menengah—diperbandingkan dengan seorang penjaga toko. Satu gambar menunjukkan: perempuan bercelana jins itu ditampakkan punggungnya dari sebatas pinggang hingga lutut dan di sudut kanan bawah penjaga toko itu sedang berjongkok, tersudut. Bukankah jelas dan benderang ke arah mana Lucky bertutur?

Saya berkesan, film “A Letter…” ini sangat kuat visual dan pesan yang hendak dikomunikasikannya meski bercerita dengan cara tak lazim. Ia mempertontonkan sistem oposisi biner yang lugas. Secara samar-samar, jika saya tidak salah tangkap, film ini cenderung merajuk. Apakah sang sutradara sedang menghasut kita? Entahlah.

Saya tidak menuliskan panjang mengenai karya Hafiz, “Meet Jen”. Yang patut saya katakan, dalam memproduksi film itu Hafiz sungguh menampakkan kelasnya sebagai sutradara, videografer, dan sekaligus penulis skenario.

Hafiz mengarahkan—tepatnya menyutradari—tokoh filmnya dengan cara melemparkan pertanyaan-pertanyaan langsung. Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab, direspons, dan sebagian dipertanyakan ulang oleh sang tokoh. Skenario film itu berasal dari sejumlah gambar yang telah dipersiapkannya. Alhasil, ini sebuah produksi film langsung di tempat. Film konseptual. Menarik.

Meski sebagian besar film itu berkisah atau menyoal perkara seputar Reformasi Mei 1998, namun saya berkesan bahwa sejatinya ini sebuah film mengenai eksistensialisme. Bagaimana seorang anak manusia—dalam kedigdayaan cara pandang cartesian—yang mengandalkan rasio, meyakini sekularisme (ingat pengalamannya yang tidak berkesan sama sekali saat azan bergema?) yang ternyata tak lebih dari satu sosok yang teralienasi. Manusia itu kesepian di antara kegalauan lalu lintas di jalan layang. Manusia itu terpenjara dan kesepian di dalam pikirannya sendiri. Di ketinggian dia mengecil, di dalam dirinya dia terus mencari.

Apakah mengalami harus mengalami secara wadah? Apakah realitas empirik tak lebih dari suatu lakon teater? Apakah realitas empirik itu riil adanya? Apakah realitas empirik adalah cuma representasi kebahasaan? Apakah realitas di televisi itu simulakra?

Oleh-oleh dari Pemutaran dan Diskusi “9808″ 25-27 Mei 2008 di Semarang

Proyek Payung yang resminya adalah ‘proyek-proyekan’ karena memang bukan organisasi/lembaga, sangat beruntung dengan adanya sejumlah pihak yang memberikan dukungan tak main-main dalam penyelenggaraan pemutaran serta diskusi Antologi “9808″ ini.

Di Semarang, Rumah Seni Yaitu (RSY) dibantu dengan Importal memutar “9808″ selama tiga hari berturut-turut. Dalam surat elektroniknya hari ini, Pak Tubagus Svarajati mengabarkan pada pemutaran di malam terakhir yang berlanjut dengan diskusi, penonton yang hadir tampak beragam. Termasuk di antaranya beberapa perempuan paruh baya, mahasiswa, juga jurnalis. Ada juga yang menonton untuk kedua kalinya.

Diskusi yang dimoderatori oleh Damar Adi dan menghadirkan Donny Danardono serta Rizki Lazuardi selaku pembicara, berlangsung hingga menjelang pukul 23.00 WIB. Apa saja yang dibicarakan di Semarang? Di antaranya, menurut rangkuman Pak Tubagus adalah harapan atau citra positif hasil Reformasi seperti yang disiratkan di dalam film “Sekolah Kami, HIdup Kami” (Steve Pillar Setiabudi) dan metafor yang justru gaungnya sangat keras di dalam sepinya film arahan Lucky Kuswandi, “A letter of Unprotected Memories.”

Melengkapi ‘kiriman’ dari Semarang adalah dua tulisan yang kami muat d i halaman ini. Sebelum Anda menikmati oleh-oleh yang luar biasa dari Semarang ini, baiknya kami dari Proyek Payung menyampaikan terima kasih kepada Pak Tubagus, Damar Adi, Donny Danardono, Rizki Lazuardi dan yang lebih penting lagi, para penonton/partisipan diskusi di Semarang.
Diskusi Galeri Cipta 3, 20 Mei 2008

Diskusi diadakan oleh Kineforum bertepatan dengan hari terakhir pemutaran “9808″ yang telah berlangsung sejak 13 Mei di Kineforum.

Peserta diskusi beragam, mulai dari pekerja film, pendidik, pemerhati masalah sosial, dll. Pembicara Alex Sihar (Konfiden) dan Ardy Yunarto (ruangrupa) memandu percakapan antara sebagian besar tim Payung (Anggun Priambodo, Pillar Setiabudi, Wisnu ‘Kucing’, Edwin, dan Prima Rusdi) dengan para peserta diskusi.

Aktifis dan kolumnis Julia Suryakusuma yang juga menghadiri diskusi memberi masukan soal pentingnya melihat film tak hanya sebagai film atau medium hiburan semata, namun juga sebagai alat yang memiliki kekuatan untuk mengabadikan/menyampaikan sesuatu sehingga dalam konteks “9808″ ini ia beranggapan sebaiknya diskusi tidak terpaku pada hal-hal yang bersifat tehnis semata.

Sebagian besar peserta sepakat bahwa banyak bagian dari sejarah paska 1945 yang sudah waktunya untuk ditinjau ulang dan dilengkapi mengingat kecenderungan ‘penyakit lupa’ yang sangat memprihatinkan. Salah seorang pengajar di sebuah Sekolah Dasar mengungkapkan keprihatinannya saat salah seorang muridnya yang berusia 10 tahun kebingungan kala wafatnya Suharto baru-baru ini. Sang murid tidak tahu betul sosok Suharto serta apa peran beliau di dalam peta sejarah Indonesia sehingga beragam kontroversi seputar wafatnya mendiang Presiden kedua RI itu betul-betul membingungkan baginya. Percakapan di bagian ini mencakup soal pemberdayaan masyarakat dalam beragam kapasitas termasuk ‘menuntut’ perekaman sejarah dan berhenti menunggu.

Masukan lain juga datang dari peserta diskusi yang menganggap perlunya upaya Proyek Payung untuk bisa menyebarkan antologi ini secara lebih luas agar bisa diakses oleh penonton. Bukan hanya sebagai bahan tontonan tapi juga sebagai titik tolak diskusi menyoal reformasi dan pentingnya sejarah. Meski disepakati pilihan dari pihak Proyek Payung untuk mengklasifikasikan antologi ini di kisaran usia penonton 15 tahun ke atas di rasa cukup tepat, mengingat untuk memahami konteks dari antologi ini memerlukan sejumlah referensi awal. Ketika salah seorang peserta diskusi mempertanyakan apakah Proyek Payung optimis akan kesiapan masyarakat untuk menonton antologi ini, pembicara Alex Sihar menegaskan alasan ‘menunggu kesiapan masyarakat’ sebetulnya sangat konotatif dengan sikap Orde Baru yang cenderung malah menyesatkan.

Dari Rangkaian Diskusi “9808″ 15-20 Mei 2008 di Yogyakarta, Sukabumi dan Jakarta

29 Mei 2008
Sesuai dengan kesepakatan Proyek Payung, Antologi “9808″ diharapkan menjadi awal dari rangkaian diskusi publik. Di minggu pertama pemutaran “9808″, tercatat 3 (tiga) forum diskusi yang terlaksana berkat dukungan beragam pihak (Kineforum, Kinoki, Transmission Asia Pacific Meeting).

Keragaman peserta forum di ketiga diskusi tersebut juga memperlihatkan keragaman reaksi, sebagian dari hasil diskusi-diskusi tersebut kami laporkan di sini.

Yogyakarta (Kinoki, 15 Mei 2008)
Di Yogyakarta, diskusi “9808″ berlangsung di dua tempat yaitu di Kinoki pada tanggal 15 Mei dan di Sanatha Darma pada tanggal 16 Mei 2008. Ariani Darmawan, sutradara “Sugiharti Halim”, F. Tedjo Baskoro (Commonsense) dan Eddie Cahyono (FourColors) hadir pada kedua sesi tersebut, dipandu moderator Elida Tamalagi (Kinoki).

Di awal diskusi, Ariani bercerita tentang proyek ini, bahwa ini adalah proyek swadaya 10 pembuat film yang ingin berbagi cerita tentang peristiwa Mei 98. Juga bahwa soal tujuan proyek ini untuk melawan lupa.

Ada pertanyaan tentang kecondongan kompilasi ini menyuarakan etnis tertentu. Selain itu banyak juga hal lain yang dibicarakan. Seorang perempuan malah merekap semua film dengan review pendeknya (yang mungkin ia persiapkan diam-diam selama ia menonton). Menurutnya usai menonton antologi “9808″ ia mendapatkan gambaran yang luas tentang peristiwa tersebut dan dampaknya bagi bermacam-macam orang dari berbagai latar belakang.

Beberapa peserta diskusi mengharapkan Proyek Payung melanjutkan antologi semacam ini dalam perayaan yang berbeda-beda. Bahkan mereka pun berharap bahwa “9808″ dibuka ke audiens yang lebih luas, agar mereka bisa ikut serta.

Sukabumi (Transmission Asia Pacific Meeting, 20 Mei 2008)
Pemutaran “9808″ didahului dengan tiga film Forum Lenteng. Setelah itu, Hafiz (salah seorang penggagas “9808″ dan sutradara “Bertemu Jen”) memberi kata pengantar. Para penonton cukup antusias menyaksikan dan bertepuk tangan setelah setiap film selesai.

Peserta dari Malaysia mengagumi keragaman antologi “9808″ di mana para sutradara mengekespresikan diri dalam beragam cara penuturan yang menarik. Ia membandingkan dengan kecenderungan penuturan film-film Malaysia yang menurutnya biasanya menampilkan segala sesuatunya dengan sangat langsung (direct). Misalnya, film-film bernada protes pasti akan menampilkan demonstrasi di jalanan. Sementara para sutradara “9808″ menurutnya bisa menyampaikan hal-hal yg menyangkut isu sosial dengan cara yang kreatif, sehingga sangat banyak informasi yang terkandung dalam tiap filmnya.

Peserta dari Taiwan menanyakan kaitan isu dalam dokumenter arahan Pillar (”Sekolah Kami, Hidup Kami”) dan dijawab oleh Hafiz soal keterkaitan korupsi serta esensi dari proyek ini yang berupaya menyoroti soal harapan ke masa depan yang lebih baik. Hal ini pula, antara lain, yang membuat Proyek Payung menempatkan film ini di bagian akhir kompilasi “9808″.

Peserta lainnya dari Taiwan bertanya soal ‘jam terbang’ para sutradara “9808″, yang dijelaskan oleh Ariani bahwa tidak ada di antara para sutradara ini yang bisa disebut sebagai pemula. Hafiz menekankan sejak awal tim sepakat untuk tidak memberi penekanan terlalu banyak pada aspek tehnis karena pada prinsipnya proyek ini dikerjakan secara bersama, dan juga bahwa proyek ini melibatkan pekerja film profesional seperti editor.

Peserta dari Filipina menyatakan ia menyukai gagasan mengenai ingatan dan adanya ‘ketiadaan’ di dalam setiap film. Contoh, film “Yang Belum Usai” (Ucu Agustin) yang memperlihatkan seorang ibu yang tetap ‘menghadirkan’ putranya yang tewas. Bagi peserta ini, konsep tersebut sangat kuat dalam menyampaikan gagasan bagaimana kejadian 1998 itu diingat.

Peserta lain dari Malaysia mengingat soal aksi kekerasan terhadap etnisCina di Malaysia yang pernah terjadi pada tanggal 13 Mei 1969. Pemahaman Reformasi di Malaysia menurutnya relatif berbeda. Dalam arti tidak didominasi oleh peran mahasiswa. Kala itu, siapapun yang menentang kemenangan PEMILU 1998 ditahan. Saat ini para tokoh yang kala itu menentang kini sebagian menjabat di Parlemen.

Dian Herdiany dari Kampung Halaman yang juga adalah peserta pelatihan ini melihat Indonesia sudah berubah. Film arahan Pillar mengenai kasus korupsi di SMA 3 Solo juga terjadi di Yogya (SMA 8). Dan bukan tak mungkin hal serupa terjadi juga di kota-kota lain. Menurut Dian, kesadaran siswa soal korupsi tersebut mungkin diperoleh dari mata pelajaran Kewarganegaraan. Mereka belajar tentang pengadilan yg baik, hukum yang baik. Juga media yg mereka lihat. Dian optimis saat melihat film arahan Pillar Indonesia akan berubah menjadi lebih baik.

Demonstrasi dan Demokrasi (Liputan6.com)

23 Mei 2008
Oleh: Yus Arianto -Koordinator Liputan 6.com

*) Seperti telah dimuat di Liputan 6.com, 23 Mei 2008. Pembahasan yang berkaitan aksi demonstrasi bisa dilihat di dalam film “Kucing 98-08, Catatan Harian Mantan Demonstran,” sutradara Wisnu Suryapratama. Film ini termasuk di dalam antologi “9808″.

Tiada hari tanpa demonstrasi. Itulah yang terjadi dalam dua pekan terakhir. Isunya tunggal: menolak kenaikan harga BBM. Pesertanya beragam: mahasiswa, buruh, bahkan ibu rumah tangga.

Demonstrasi adalah soal lumrah dalam iklim demokrasi. Akan lebih sering dipilih selaku sarana artikulasi politik ketika parlemen dinilai tak cukup bertenaga menyuarakan aspirasi. Itu sebabnya, demonstrasi kerap disebut sebagai “parlemen jalanan” atau “aksi ekstraparlementer.” Asumsi itu menemukan logikanya lantaran DPR yang biasanya sangat perkasa, terkesan “lembek” dalam persoalan kenaikan harga BBM.

Indonesia pernah menempuh suatu masa ketika demonstrasi menjadi barang haram. Bahkan, ketika demonstrasi hanya diwujudkan dengan menyalakan lilin di ruang publik pada malam hari. Kita ingat, penyair Rendra sempat dibui. Penyebabnya, ia menggelar tirakatan, sembari menyalakan lilin, di bundaran Hotel Indonesia pada awal 1970-an. Tirakatan diselenggarakan demi merenungkan nasib Indonesia yang digerogoti korupsi.

Rendra ditangkap sendiri. Para tokoh mahasiswa seperti Arief Budiman mengindahkan himbauan Gubernur Ali Sadikin yang meminta agar tirakatan digelar di rumah masing-masing. Pemerintah DKI Jakarta “mendukung” dengan mematikan listrik selama lima menit pada malam tersebut.

Masa-masa gelap itu telah berlalu. Menjelang reformasi, demonstrasi menjadi pemandangan biasa. Seusai reformasi, intensitasnya perlahan-lahan mereda. Dan, hari-hari belakangan agaknya menjadi periode saat demonstrasi kembali merupakan menu sehari-hari di jalanan. Nyaris tanpa jeda.

Kita sepenuhnya paham: demonstrasi adalah sarana mengemukakan pendapat–dan ini dilindungi hukum. Tapi, pada saat bersamaan, sangat logis dan wajar jika muncul harapan bahwa demonstrasi bisa berlangsung damai.

Silakan berteriak-teriak, tapi tak usah ada bentrok fisik dengan siapa pun–juga dengan aparat keamanan yang sejatinya sekadar melakoni tugas. Silakan berorasi sampai suara habis, tapi tak perlu menyandera truk tangki BBM yang tengah melintas. Kemurnian niat jangan dikotori dengan kekonyolan tindakan.

Ditarik lebih jauh, tindak anarkis hanya akan membuat true believers otoritarianisme memperoleh amunisi untuk berujar bahwa demokrasi itu pendulang masalah belaka. Lalu, kata mereka, ayo kembali ke “masa silam yang tenteram.”

Di sisi lain, pemerintah juga mestinya jangan terlalu reaktif seraya mengenakan kacamata masa lalu. Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Syamsir Siregar pada pekan lalu menyatakan bahwa aksi-aksi menentang kenaikan harga BBM telah ditunggangi. Tak pelak, pernyataan semacam ini menggiring ingatan kita pada praktik-praktik penguasa masa Orde Baru.

Ditunggangi atau tidak, bukan itu pokok soalnya. Demonstrasi adalah instrumen sah menyuarakan aspirasi. Aparat keamanan baru relevan bicara atau bertindak saat demonstrasi dibumbui aksi kriminal. Demokrasi memang menimbulkan kegaduhan. Ini harga yang mesti dibayar. Karena, kita semua pasti tak mau kembali ke era saat sekadar menyalakan lilin di ruang publik pada malam hari pun diganjar dengan bui.

Cerita Para Saksi (Cerita Pendek)

Oleh: Rolly Latendengan, Jakarta

“Gedung-gedung itu, jalanan ini, dan pepohonan di sekitarnya pernah menjadi saksi tuli reformasi teman,” sambil duduk di pinggiran trotoar, Buyung bercerita kepada sebuah tong sampah. Tong yang masih baru dan sampahnya terlihat penuh, hingga tutupnya tak bisa lagi rapat. “Ketika itu orang-orang sudah ramai di jalanan, dari arah Semanggi, dari arah Kyai Tapa, dari arah Sudirman. Dan disinilah tempatnya kawan, tempat mereka saling berhadapan, dorong-dorongan, pukul-pukulan, lempar-melempar. Gedung-gedung itu, Jalanan ini dan Pohon-pohon hanya bisa menonton tapi tidak bisa mendengar, juga Langit di atas sana tong,” lanjut Buyung sambil tersenyum dan merapikan gulungan celana pendeknya. “Baiklah teman, tanpa mengurangi rasa hormat akan kuceritakan sedikit kepadamu.”

“Orang-orang berteriak, reformasi.. reformasi.. sampai mati. Waktu itu bulan Mei 1998, mahasiswa dan masyarakat turun ke jalanan, katanya sih berjuang untuk reformasi, untuk perubahan. Dan akupun jadi berubah sejak saat itu, sejak sebuah batu besar melayang ke kepalaku. Sejak itu pula mulai kudengar suara-suara mereka,” Buyung melengos sembari mengelus-elus kepalanya yang pitak di bagian belakang.

“Saat itu aku dengar Gedung-gedung bertanya kepada langit, apa yang sedang terjadi, suasana seperti mencekam, tak ada suara terdengar, tapi kami bisa melihat jelas mereka saling menyerang, seperti berperang, dan ada yang bertahan. Lalu kilatan menyala di Langit, seperti blits kamera besar yang sedang menangkap gambar.”

“Saksi-saksi itu kemudian saling bertanya. Hei Gedung berpendidikan, kenapa anak-anakmu ada yang membawa kayu, bambu dan bom molotov dijalanan. Mau apa mereka, tanya Jalanan kepada gedung yang kelas-kelasnya kosong. Gedung di seberang jalan sana yang ada lambang burung garudanya yang memulai, orang-orangnya menghalangi anak-anakku ke gedung perwakilannya, jawab gedung itu sambil menunjuk ke arah seberang jalan semanggi,” cerita Buyung.

“Hei Gedung yang katanya melayani masyarakat, sekarang giliran orang-orangmu yang mulai menembaki anak-anak itu. Apa salah mereka, dan pelurumu, juga menembus dadaku. Kembali Jalanan bertanya kepada gedung. Mereka menembak sendiri, peluru-peluru itu yang meletus tanpa perintah, gas-gas air mata marah melihat tuannya didorong, dipukuli, dilempari molotov. Jawab gedung dengan suara lirih,” lanjutnya.

“Sore itu bentrokan antara mahasiswa dan aparat tak mungkin lagi dihindari. Letusan-letusan senjata terdengar. Batu dan botol beterbangan, kayu dan bambu beradu dengan tameng, kepulan asap menyengat di mana-mana.” Sembari menyalakan puntung rokok Buyung melanjutkan ceritanya. “Satu persatu mereka tumbang di Jalanan teman, di antara pepohonan, dan jiwa mereka, jiwa yang terlepas, masih berada di sekitar dengan pertanyaan. Kenapa harus aku yang mendapat giliran hari ini, perjuangan baru dimulai, reformasi belum jadi, sia-siakah hari ini? Dan waktu itu, akupun disini teman, terbaring kaku mendengarkan suara mereka, ketika batu itu memukulku.”

“Pohon-pohon berkata, mengapa mereka harus tewas disini hingga darahnya meresap sampai ke akarku. Apa yang mereka perjuangkan, kenapa kata itu berubah menjadi revolusi. Lalu kulihat jalanan seperti bergerak mengumpulkan para korban. Dan langit, sekali lagi mengeluarkan kilatnya, seperti sebuah blits kamera besar yang sedang menangkap gambar.” Lanjut Buyung sambil memutar-mutar rokoknya dengan jari.

“Gedung perwakilan yang mereka tuju, kini kau harus angkat bicara, suara jalanan mendesaknya. Aku hanya saksi tuli, sama seperti kalian. Orang-orang merencanakan sesuatu, mereka ingin perubahan dan semua harus berjalan. Semua harus berkorban untuk perubahan. Gedung rakyat menjawab dengan kepala tertunduk, dan orang-orang telah duduk diatasnya.” Buyung kembali tersenyum, berdiri, berjalan dan berkata, “Mungkin aku gila sejak itu, tapi tak jadi bodoh kawan,” sambil membuang sisa rokoknya ke dalam tong tersebut.

Tak Zaman Lagi Mahasiswa Bersikap Apolitis

Oleh: Dewi Irma, Pikiran Rakyat

*) Seperti dimuat di harian Pikiran Rakyat 2007. Isu sehubungan mahasiwa dan kegiatan politik dibahas di dalam film “Kucing 98-08, Catatan Harian Seorang Mantan Demonstran” (2008), sutradara Wisnu Suryapratama. Film tersebut termasuk di dalam antologi “9808″.

WARGA Jabar punya hajat besar pemilihan pemimpin dalam waktu tidak lama lagi. Wajah-wajah penuh senyum para kandidat dalam baligho, spanduk, pamflet, dsb., sudah ramai bertebaran di berbagai jalan protokol sampai pinggiran kota. Seusai tahun 2008, bahkan diteruskan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang. Singkatnya, masyarakat harus bersiap-siap menentukan pilihan dengan cerdas dan rasional agar tidak salah dalam memilih pemimpin.

Khusus untuk Pilgub Jabar mendatang, data menunjukkan bahwa dari 27.972.924 pemilih, 30% atau 9-10 juta orang di antaranya adalah pemilih dari kalangan muda. Sementara itu, jumlah pemilih pemula mencapai 10% dari jumlah pemilih keseluruhan, atau sekitar 1,5 juta-2,5 juta orang yang didominasi oleh pelajar SMU dan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa kalangan pemilih muda memiliki posisi potensial meskipun pada kenyataannya masih belum tergarap dengan serius.

Di kalangan muda sendiri, persoalan yang kerap mengemukan adalah merebaknya apatisme dan golongan putih (tidak menggunakan hak pilih). Tentu saja, sikap itu tidak serta-merta turun dari langit. Dicurigai, kalangan muda sudah jenuh dengan ulah berbagai politisi yang bukannya memberi pembelajaran demokrasi yang baik, namun malah menggerogoti negeri ini. Maka, inti persoalannya kini adalah harus kepada siapa kalangan muda memercayakan amanat mereka.

Soal persepsi pemilih, dalam hal ini pemilih di Bandung, Bandung Institute of Governance Studies (BIGS), sebuah lembaga nonpemerintah yang memberi perhatian pada penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, stabil, dan bersih pernah melakukan penelitian “Preferensi dan Persepsi Politik Orang Bandung” pada tahun 2004. Hasil penelitian yang melibatkan 500 responden itu mengungkapkan bahwa masih banyak pemilih yang beranggapan bahwa “politik itu kotor”, kinerja politisi buruk, dan pemilih pemula tidak tertarik pada partai-partai politik yang pernah berkuasa karena dianggap tidak memuaskan. “Karena mindset-nya seperti itu, jangankan pemilih pemula, semua pemilih juga bisa jadi malas dan alergi pada politik,” kata Siti Fatimah, penyusun penelitian tersebut dan Direktur BIGS pada Kampus.

Menurut perempuan kelahiran 15 April 1973 ini, terkait fenomena apatisme di kalangan pemilih muda, yang kini harus diperhatikan adalah pendidikan politik memadai untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai hak pilih mereka. Ia juga menyayangkan larangan sosialisasi atau kampanye di lingkungan sekolah atau kampus. “Kampus sih sekarang sudah tidak relevan lagi lah kalau apolitis. Sterilisasi kampus dari politik itu kan cerita masa lalu,” ucap lulusan Hubungan Internasional Unpad ini. Berikut obrolan lebih lanjut dengannya.

Kenapa apatisme di kalangan muda merebak?
Menurut saya, ini transisi, sebenarnya. Bagaimanapun kehidupan berpolitik di zaman Orde Baru sangat dikekang. Saat 1998, atau pemilihan langsung, sampai sekarang, sambutan masyarakat tidak bisa langsung meriah. Itu butuh proses. Butuh waktu dan butuh intervensi. Intervensinya dalam bentuk pendidikan politik. Dulu mah milih dan tidak memilih seperti tidak berpengaruh. Tahu sama tahu lah yang menang sudah jelas siapa. Intinya, kalau pendidikan politik tidak dilakukan, jangan berharap banyak.

Sampai berapa lama kita bisa mengatakan ini transisi?
Iya, memang kita tidak bisa terus mengatakan ini transisi karena ini berkaitan juga dengan mentalitas dan kualitas politisi. Pascareformasi, posisi masyarakat sipil yang selama ini terbelenggu, butuh waktu lama untuk bisa bangkit. Jadi, penguatan terhadap masyarakat sipil itu harus terus dilakukan. Butuh perhatian besar terhadap itu, ya contoh kecilnya berilah kepedulian pada anak-anak muda yang masih alergi pada politik.

Anak-anak sekarang kan mikirnya, kehidupan apa pun nggak ada hubungannya dengan politik, kira-kira begitu. Saya melihat, anak-anak muda belum bisa mengaitkan kehidupan mereka sekarang ada kaitannya
dengan politik. Padahal, sebetulnya kalau ditelusuri sangat terkait.

Misalnya begini, siapa dari kandidat sekarang yang berani mengatakan akan menjaga lingkungan di Kota Bandung. Kenapa harus dijaga? Karena Bandung kan rawan. Ini di daerah cekungan. Bandung juga punya kawasan lindung yaitu kawasan Bandung utara (KBU). Seorang ahli lingkungan mengatakan, jangan kaget, atau nggak sampai 10 tahun lagi, orang Bandung akan terbiasa dengan banjir. Atau, siapa kandidat yang berani bilang bahwa sarana kota untuk anak-anak mudanya bukan mal, tetapi kawasan bermain yang ramah lingkungan, misalnya. Ya yang kayak gitu-gitu lah, itu kan berkaitan dengan politik dan kehidupan sehari-hari.

Bagaimana cara-cara strategis mendekati kalangan muda?
Cari tahu apa yang sedang disukai anak muda. Yang menarik itu tatap muka langsung. Artinya, kalau di kita, kampanyenya masih eksklusif. Si pihak yang butuh suara, tidak berani bertatap muka langsung dengan pemilihnya, tetapi lewat pamflet, radio, dan sebagainya, itu kan banyak politisnya. Kurang menantang lah. Ya cobalah datang ke kampus. Memang katanya nggak boleh atau kampus ingin steril ya.

Padahal menurut saya, kenapa nggak? Atau, bikin acara apa kek yang anak-anak muda datang, misalnya, acara musik. Dan juga manfaatkan teknologi, seperti internet.

Ada kritik terhadap pendekatan-pendekatan yang selama ini dilakukan kandidat?
Dari hasil penelitian juga, memang ada responden yang mengalami langsung praktik money politics. Itu disayangkan sekali. Itu sama sekali mikirnya hanya jangka pendek. Harusnya jangan main curang, kecurangan kotak suara, pemaksaan, money politics, dsb., itu membunuh upaya pembelajaran politik bagi masyarakat.

Mengenai golput, itu harus dihindari atau sah-sah saja dilakukan sekalian memberi pelajaran tentang ketidakpercayaan?
Itu pilihan tiap orang. Paling saya hanya bisa berkomentar, kalau golputnya banyak, apa artinya? Berarti masyarakat tidak percaya dengan sistem yang ada. Imbauan saya jangan golput dalam pembelajaran demokrasi. Jika anak-anak muda ingin berkontribusi mengubah kondisi bangsa dan negara, salah satu caranya ya lewat penyaluran hak suaranya.

Kita di BiGS juga bekerja mengritisi APBD setahun sekali, jadi sebetulnya partisipasi masyarakat dalam pemilu yang lima tahun sekali itu. Itu kan sangat rendah. Jadi, bagi yang golput, itu sayang sekali sebenarnya. Malah harusnya setiap ada kebijakan pemerintah, masyarakat mengkritisi, kalau ada yang merugikan, harusnya masyarakat langsung bersuara, jangan diam saja dengan penguasa yang sembarangan.

Ironis bagi kalangan muda yang tidak tahu informasi tentang pilkada atau pemilu, atau memang kesalahan ada pada kandidat yang kurang proaktif menginformasikan?
Kalau menurut saya, kesalahan pada sistem, parpol, atau kandidat. Pemilih muda atau pemilih pemula tidak bisa disalahkan. Kan siapa yang butuh suara? Sistem artinya perundang-undangan, ada institusi-institusi,
KPU, KPUD, parpol-parpolnya, bagaimana institusi-institusi itu bisa melakukan pendidikan politik. Kan di dalam UU ada perintah bahwa parpol wajib melakukan pendidikan politik. Isu-isu yang bisa menarik anak muda kan bisa seputar pengangguran, biaya pendidikan, dsb. Intinya, mendekatkan kehidupan berpolitik pada anak-anak muda. Mengharapkan anak muda tidak golput, proaktif, memang harus by design, jangan
diserahkan pada alam.

Kampus saja sekarang masih apolitis kan. Ingat dulu ada kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, pasca-Malari 1974). Setelah itu, banyak mahasiswa apolitis. Artinya apa, apolitis itu by design kan. Untuk memulihkannya juga perlu upaya by design lagi. Coba dari pihak sekolahnya, aktif bikin dialog, atau apa pun. Kalau di kampus juga kenapa harus steril? Saya sih setuju boleh-boleh saja kampanye di kampus, kenapa nggak? Itu kan ketakutan otoritas kampus. Ketakutan keadaan yang tidak stabil kalau mahasiswa demo atau apa, tetapi itu seharusnya disiasati. Harusnya kampus sekarang sudah tidak relevan lagi kalau apolitis. Mahasiswa juga jangan diam saja. Berani keluar kampus kalau pendidikan politik tidak didapat di dalam kampus. Iya dong, masa sudah reformasi mahasiswa masih apolitis, memalukan sekali. ***

dewi irma
kampus_pr@yahoo.com

Bhinekka Tunggal Ika Belum Jadi Kenyataan..

Oleh: Frans Hendra Winarta, Suara Pembaruan

*) Seperti dimuat di harian Suara Pembaruan 28 Juli 2004 . Isu sehubungan dengan SKBRI dan Imlek sebagai hari raya nasional dibahas di dalam film “Sugiharti Halim” (2008), sutradara Ariani Darmawan dan “A Letter of Unproctected Memories” (2008), sutradara Lucky Kuswandi. Kedua film tersebut termasuk di dalam antologi “9808″.

Menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-59, kita diingatkan kembali kepada perjuangan dan cita-cita para pendiri (founding fathers) negara Indonesia yang ingin menjadikan negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan negara kesatuan. Konsep nation state yang dicita-citakan telah diilhami oleh pendapat Ernest Renan tentang sekumpulan manusia karena mengalami peristiwa yang sama, merasa senasib dan sepenanggungan telah memutuskan untuk hidup dalam satu kesatuan kenegaraan untuk masa-masa yang akan datang, atau dikenal dengan konsep nation state (kebangsaan). Dalam konsep nation state tidak dipersoalkan asal usul, keturunan, ras, etnisitas, warna kulit dan latar belakang lainnya. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan bentuk perwujudan konsep nation state tersebut. Konsep ini kemudian dituangkan dalam lambang negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity) yang menyadari bahwa secara alami kita sudah berbeda, baik suku, ras, warna kulit, keturunan, agama, sosial budaya, dan ekonomi tetapi toh kita ingin bersatu dalam perbedaan tersebut.

Ironisnya, walaupun setiap tahun kita merayakan HUT kemerdekaan Indonesia, namun kesatuan dan integritas bangsa Indonesia belum tercapai seutuhnya. Perlakuan diskriminasi, khususnya terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, masih berlangsung secara formal dan informal yang justru merupakan contradictio in terminis dari konsep Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity) itu sendiri. Terlebih lagi, hakekat suatu negara hukum belum dijalankan dengan maksimal sehingga masih belum ada perlakuan sama dihadapan hukum (equality before the law) terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dan sebenarnya secara umum kepada semua warga negara Indonesia. Hal ini terjadi sebagai akibat dari warisan politik devide et impera (politik memecah belah) yang diterapkan oleh kolonial Belanda dengan cara membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan penduduk berdasarkan pada ras, yaitu [1] Golongan Eropa, [2] Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) seperti Tionghoa, India, dan Arab, [3] Golongan Pribumi (Inlanders). Pengelompokan tersebut diatur secara sistematis melalui peraturan Regerings Reglement (RR) jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling (Stb. 1855-270 jo. Stb. 1925-415 jo. Stb. 1925-447) maupun dalam Nederlandsche Onderdaanschap van niet Nederlanders (Stb. 1910-126).

Ketiga golongan penduduk tersebut masing-masing hidup secara eksklusif dan mempunyai peran serta kondisi ekonomi dan strata sosial yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Pembagian ini jelas lebih menguntungkan Belanda dan golongan pribumi yang paling dirugikan, sedangkan golongan Tionghoa merupakan kelompok yang terpisah karena kebijakan pemerintah kolonial Belanda, seperti sistem opsir (Kapitan Cina), sistem pemukiman dan pas jalan, membuat orang Tionghoa menjadi tidak berbaur. Perbedaan strata sosial kemudian dipergunakan oleh kolonial Belanda untuk menerapkan politik devide et impera dengan cara mengadu domba antara golongan pribumi dengan etnis Tionghoa, dimana seolah-olah golongan pribumi itu inferior, tidak dapat dipercaya, tidak jujur, bodoh dan selalu memusuhi etnis Tionghoa. Sebaliknya etnis Tiongoa digambarkan sebagai suatu komunitas yang licik, mau menang sendiri, eksklusif, kikir dan srigala ekonomi. Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan kebencian yang mendalam dari golongan pribumi terhadap etnis Tionghoa. Tujuan politik pecah belah (devide and conquer) tentunya adalah untuk kepentingan survival kaum penjajah agar bisa langgeng menguasai wilayah jajahan.

Kebencian yang ditanamkan tersebut masih dirasakan sampai saat ini, karena Orde Baru selama 32 tahun berkuasa di Indonesia telah mempraktekkan kembali politik devide et impera dengan melakukan pengkotakan penduduk dan menciptakan perbedaan-perbedaan dalam kelompok masyarakat, misalnya dikotomi Jawa dan non Jawa, muslim dan non muslim, militer dan sipil, mayoritas dan minoritas, pribumi dan non pribumi, dan seterusnya yang tidak kalah seriusnya. Secara sistematis dan konsisten, Orde Baru juga telah membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa sehingga banyak dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia menjadikan mereka makhluk yang paling a politis. Takut berpolitik, takut bicara politik, takut bersikap dalam politik dan segala trauma politik pasca 30 September 1965. Pada masa itu diciptakan situasi dimana peluang bisnis diberikan sebesar-besarnya kepada etnis Tionghoa sehingga tercipta golongan konglomerat dari etnis Tionghoa yang dianggap sebagai golongan oportunis dengan mendekati penguasa tanpa memperdulikan nasib masyarakt sekitarnya, sehingga menimbulkan kesan salah seolah-seolah etnis Tionghoa secara keseluruhan telah menyebabkan kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Stereo type yang diciptakan seperti inilah yang membahayakan dan bertentangan dengan konsep nation yang menjadi cita-cita bersama sebagai bangsa modern.

Selain itu, tindakan-tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dilegitimasikan oleh rejim Orde Baru melalui berbagai peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, diantaranya:
1. SE. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 mengenai Larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina;
2. Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat Cina;
3. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng;
4. SE Presidium Kabinet RI No. SE-06/Pres-Kab/6/1967 mengenai Penggantian Istilah Tiongkok dan Tionghoa Menjadi Cina;
5. Instruksi Presiden No. 37/U/IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC);
6. Kep. Presidium No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Peraturan Ganti Nama Bagi WNI Memakai Nama Cina; dan sebagainya.

Produk-produk hukum di atas jelas menekan kehidupan sosial budaya dan mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia dengan dilakukannya pelarangan terhadap huruf Tionghoa, bahasa Tionghoa, pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah Tionghoa, pembatasan perayaan Imlek dan arak-arakannya (Cap Gome), upacara di Klenteng dan formalisasi penggunaan istilah Cina. Perkawinan antara pemeluk Kong Hu Cu tidak diakui sah oleh negara karena hanya 5 (lima) agama yang diakui negara (Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu). Ganti nama dan asimilasi yang tidak ada sangkut pautnya dengan patriotisme dan nasionalisme turut mendorong kebijakan anti Tionghoa. Hal ini jelas menimbulkan kesan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya dan etnis Tionghoa adalah buruk dan harus dihindari. Padahal faktanya jauh sebelum Belanda mendarat di Nusantara, akulturasi budaya dan pembauran sudah terjadi. Hal ini dapat dilihat antara lain dari budaya Betawi, Cirebon dan Bali yang dipengaruhi unsur budaya Tionghoa.

Peraturan-peraturan di atas jelas sengaja dibuat oleh Orde Baru untuk membatasi hak-hak asasi etnis Tionghoa di Indonesia. Dikeluarkannya banyak peraturan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia merupakan bentuk nyata tindakan pemerintah Indonesia yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa sebagai warga negaranya sendiri dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia berupa diskriminasi oleh negara terhadap warga negaranya sendiri (state sponsored racial discrimination/apartheid). Tindakan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia oleh rejim Orde Baru terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dapat dikategorikan sebagai cultural genocide. Budaya Tionghoa yang secara alami sudah berbaur (diambil alih) oleh budaya setempat dicoba untuk dipisahkan.

Satu lagi perlakuan diskriminatif adalah pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang memang merupakan salah satu peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dan telah menjadi masalah yang berlarut-larut. Walaupun pada awalnya kebijakan SBKRI lebih berlatar belakang kepada hukum internasional dalam hal proses naturalisasi warga negara asing menjadi warga negara Indonesia, namun dalam prakteknya kebijakan SBKRI tersebut ditafsirkan dan berlaku pada bagi WNI dari etnis Tionghoa. Dengan kata lain, SBKRI adalah bentuk lain dari apartheid atau state sponsored racial discrimination, yang diekspresikan melalui perangkat hukum dan kebiasaan. Bahkan seiring dengan perkembangan waktu, masalah SBKRI beralih menjadi sumber KKN sehingga semakin sulit dihapuskan dalam prakteknya sehari-hari, walaupun telah dikeluarkan peraturan untuk meniadakan SBKRI bagi etnis Tionghoa di Indonesia.

Namun hal yang lebih disayangkan adalah sampai dengan amandemen keempat UUD 1945, tidak diadakan perubahan pada Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 dimana masih terdapat kata “Indonesia asli”. Definisi “asli” juga tidak jelas apa arti dan maknanya secara hukum. Belajar dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia, maka menurut hemat saya ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 tersebut justru berpotensi untuk menimbulkan kembali peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Menyambut HUT kemerdekaan RI ke-49, maka diskriminasi oleh negara terhadap warga negaranya sendiri atau lebih tepat politik pecah belah ini harus diakhiri, karena setiap warga negara adalah sama di hadapan hukum (equality before the law) dan hak warga negara tersebut tidak boleh dilanggar, dirampas atau dikurangi oleh siapapun termasuk oleh negara. Karena itu, segala usaha untuk mencabut setiap peraturan dan ketentuan yang mengandung sifat diskriminatif seharusnya dimulai dari undang-undang dasarnya itu sendiri sebagai hukum tertinggi suatu negara, sehingga semua peraturan perundang-undangan dibawahnya dapat dieliminasi secara hukum.

Menjelang HUT Kemerdekaan ke-59 kita harus berani bertanya apakah kita akan mengakhiri politik pecah belah yang diwarisi dari pemerintahan kolonial atau akan kita langgengkan politik pecah belah dan menjadikan cita-cita negara kebangsaan dan Bhineka Tunggal Ika sebagai utopia.

Pelajaran Demo(krasi) dari Siswa dan Ibu (Joglo Semar)

Oleh: Joko Sumantri, pegiat Perhimpunan Citra Kasih, Surakarta

*) Seperti dimuat di harian JogloSemar 28 April 2008 . Isu perjuangan siswa SMA 3 Solo dibahas di dalam film Steve Pillar Setiabudi, “Sekolah Kami, Hidup Kami” (2008) yang termasuk di dalam antologi “9808″.

Ada dua peristiwa menarik yang terjadi beberapa hari terakhir ini di Kota Solo. Pertama, demo ratusan siswa SMAN 3 Surakarta menuntut tranparansi dana pada pihak “penguasa” sekolah (Senin, 24 Maret 2008). Kemudian dua hari beselang giliran ibu-ibu berdemo menolak konversi minyak tanah ke gas elpiji di balaikota.

Disebut menarik, karena dua elemen penting ini jarang melangsungkan demo, aksi massa, protes, dan semacamnya. Kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh kalangan mahasiswa, aktivis LSM, buruh, dan unsur masyarakat lainnya ketika menjumpai kepentingan yang perlu didesakkan. Namun frekuensi tidak lantas menentukan kualitas. Unjuk rasa ibu-ibu dan anak sekolah tadi justru pantas diteladani oleh pihak-pihak lain yang memperlakukan demo sebagai rutinitas.

Siswa-siswa SMAN 3 berdemonstrasi menuntut adanya transparansi dana, yang menurut penilaian mereka tidak jelas sehingga memberatkan para siswa. Mereka berlogika sejumlah prasarana sekolah bernilai ratusan juta rupiah semestinya dialokasikan pendanaannya pada 2005, namun ternyata menggunakan anggaran tahun 2007. Lalu bagaimana nasib anggaran sekolah di tahun 2005? (Joglosemar, 25 Maret).

Yang lumayan menakjubkan, kesadaran berorganisasi di kalangan siswa ini mulai nampak. Mereka membentuk tim dengan nama Tim Penelaah Bukti Kasus Penyimpangan Dana Sekolah. Demo pada Senin lalu bukanlah spontanitas. Mereka sudah merancangnya jauh-jauh hari. Bahkan seharusnya demo tersebut sudah terjadi sekitar tiga minggu sebelumnya.

Sementara, ibu-ibu yang tergabung dalam Forum Ibu Peduli melakukan aksi penolakan terhadap program konversi minyak tanah ke gas elpiji. Aksi berlangsung di bunderan Gladak menuju balaikota. Mereka protes atas kesimpangsiuran sosialisasi program konversi gas. Salah satu yang menjadi kekhawatiran adalah kerawanan penggunaan kompor gas bantuan pemerintah.

Namun, protes cerdas dikemukakan seorang ibu bernama Sri Y, pekerja petik cabai. “Kalau konversi dilakukan, rakyat kecil nanti akan dijadikan apa? Penghasilan rutin saja tidak punya, bagaimana nanti membeli gas jika sudah habis?” (Joglosemar, 27 Maret 2008).

Demo para ibu ini diwarnai aksi teatrikal. Mereka membawa kompor minyak, kompor gas, alat-alat rumah tangga, dan lain sebagainya. Tidak ada aroma ketegangan, meskipun isu yang disampaikan menyangkut hajat hidup orang banyak. Melihat aksi tersebut, siapapun kiranya dapat tersenyum.

Pandangan Sinis
Mengamati aksi dua kelompok di atas, biasanya lahir pandangan-pandangan sinis menyangkut kapasitas dan kompetensi para pendemo. Alih-alih bersikap empatik, sebagian kalangan kerap menuduh demo remaja atau ibu-ibu telah ditunggangi oleh kepentingan lain yang lebih besar. Demo mereka dianggap tidak berdiri sendiri dan keberadaan mereka telah dimanfaatkan dan dijadikan obyek oleh pemilik kepentingan sesungguhnya. Dalam bahasa lain, ada kesan politisasi terhadap demo siswa sekolahan maupun oleh ibu-ibu.

Dalam hal demo para siswa misalnya, kerap muncul opini bahwa tugas siswa hanyalah belajar. Siswa yang ikut-ikutan demo lalu dituduh melakukan hal di luar kepantasan dan melenceng jauh dari tugas pelajar. Keragu-raguan terhadap kepentingan murni para siswa juga menonjol, dengan anggapan kedewasaan dari para pelajar belum memadai. Belum cukup umurnya mereka seakan-akan berkonotasi bahwa urusan politik dan demo-demoan di luar kapabilitas mereka.

Sementara ibu-ibu (dianggap) memiliki tugas pokok di dalam rumah tangga, termasuk mengurus suami dan anak-anak. Ketika ternyata mereka keluar dari rumah untuk berdemo, (barangkali) akan muncul dugaan ada motif-motif tertentu yang berkaitan dengan kepentingan sesaat.

Pandangan-pandangan sinis ini jelas tidak adil. Pertama karena menganggap siswa atau ibu-ibu bagaikan wayang atau boneka yang bisa dipermainkan semaunya oleh seorang “dalang”. Kedua, aspirasi dari mereka terkesan tidak lagi memiliki nilai, karena seakan-akan bukan keinginan mereka sendiri. Ketiga, peristiwa demo (dan persiapan jauh-jauh hari sebelumnya) lantas tidak ada gunanya, bahkan sebaliknya bisa menghantam kredibilitas pendemo.

Dalam feminisme, dikenal istilah personal is political, yakni bahwa setiap person sesungguhnya bermuatan ihwal-ihwal politik. Setiap orang tanpa melihat umur dan jenis kelamin, memiliki kepentingan politis yang sah diperjuangkan oleh tiap-tiap orang tersebut. Bahkan bayi sekalipun memiliki kepentingan politisnya sendiri, yang karena tidak dapat memperjuangkannya secara mandiri lantas diwakilkan ke orang tua dan negara.

Siswa SMA sebagian memiliki usia di atas 17 tahun, yang secara formal sangat sah dan meyakinkan dapat menyuarakan aspirasinya sendiri, minimal ikut Pemilu. Kepentingan politis juga tak terkait dengan tingkat pendidikan maupun intelektualitas seseorang, terutama apabila kita sedang menyasar profil ibu-ibu (apalagi sekarang banyak ibu yang well-informed).

Pelajaran Penting
Ketimbang berupaya keras menyangsikan aksi remaja dan ibu-ibu, sebaiknya kita menyelami kemungkinan-kemungkinan nilai yang bisa dipetik. Kontemplasi pantas dikedepankan. Sesuatu yang tidak biasa bisa jadi merepresentasi hal-hal yang justru luar biasa.

Pertama, protes anak SMA terhadap tindak korupsi sesungguhnya sangat positif. Para siswa bukan lagi pada tataran mempelajari perihal korupsi, namun sekaligus mempraktikkan sikap anti-korupsi. Seandainya sikap ini dipertahankan, bolehlah kita berharap pada generasi siswa sekarang ketika pada gilirannya berperan, meninggalkan warisan korupsi para pendahulunya.

Di sisi lain lahir pula kecemasan. Korupsi kini telah menjelma menjadi makhluk yang menyebar kemana-mana. Kehadirannya tidak lagi misterius. Setiap orang dengan gamblang dapat mengendus tindak korupsi, termasuk anak sekolah.

Kedua, protes ibu-ibu merupakan resistensi penting yang berguna untuk menyadarkan pemangku kebijakan agar lebih hati-hati dalam menerapkan program. Secara tradisional, pada dasarnya ibu-ibu kita tak suka turun ke jalan. Sehingga, ketika mereka pada akhirnya ikut-ikutan demo adalah isyarat akan kegawatan persoalan yang dihadapi.

Yang perlu diberi perhatian lebih, terutama untuk siswa SMAN 3, jangan sampai aksi mereka melahirkan imbas-imbas yang menciderai hak-hak siswa. Perhatian publik penting sebab perkembangan terakhir terkesan mengarah ke hal tersebut, ketika walikota mewanti-wanti tidak boleh ada sanksi bagi siswa yang mengikuti demo (Joglosemar, 28 Maret). Apabila sampai hal tersebut terjadi, perlu bagi pihak manapun memberikan repons yang kuat dan tak tertahankan.

Dukung Demo SMA 3 Solo

Oleh: Woro Retno Wulandari, Guru SMK Muhammadiyah Karangpandan, Karanganyar

*) Seperti dimuat di harian JogloSemar 2 April 2008 . Isu perjuangan siswa SMA 3 Solo dibahas di dalam film Steve Pillar Setiabudi, “Sekolah Kami, Hidup Kami” (2008) yang termasuk di dalam antologi “9808″.

Dalam kesempatan ini saya ingin mendukung demonstrasi siswa SMA 3 Solo dan tuntutan Dewan Guru SMPN 1 Gatak yang melakukan perlawanan terhadap korupsi di sekolah. Korupsi di dunia pendidikan khususnya di level sekolah memang makin memprihatinkan. Banyak terungkap di media massa tentang korupsi di tingkat sekolah yang dilakukan para oknum kepala sekolah beserta kroninya.

Modus korupsi di sekolah antara lain penyunatan dana BOS, mark-up dan penyunatan anggaran pembangunan sekolah, penjatahan persentase sumbangan pendidikan dari orangtua siswa, dan sebagainya. Kasus dugaan korupsi di sekolah seperti yang terjadi di SMA 3 Surakarta dan SMPN 1 Gatak, Sukoharjo yang diungkap media massa menunjukkan bahwa ada korelasi praktik KKN di dunia pendidikan.

Korupsi yang terjadi di sekolah memang akhirnya membuat biaya pendidikan semakin mahal dari waktu ke waktu. Korupsi telah dibebankan kepada siswa dan orangtua siswa. Korupsi menyebabkan bangunan sekolah menjadi mudah roboh karena anggaran pembangunan dipotong dan menjadi bancakan para pejabat. Jika pendidikan ingin maju maka korupsi harus diberantas.

Beruntunglah Mereka Yang Gelisah

Oleh: Yuli Andari, Yogyakarta

Melihat deretan antologi “9808” aku seperti kembali ke 10 tahun yang lalu, meski dengan semangat yang tak romantis lagi. Beberapa film yang mengangkat isu tentang etnis China dibikin dengan sangat personal, narasi kecil tentang isu-isu besar yang sampai sekarang belum jelas.

Yang paling membekas di hatiku adalah KUCING 9808 dan film tentang anak sekolah yang mengusut korupsi di sekolahnya. Aku melihat sosok si Kucing sebagai mantan aktivis 98 sebagai sosok realitas seseorang yang pernah terlibat dalam perubahan. Footage yang bagus bisa memperlihat dirinya ketika 10 tahun yang lalu sedang berorasi pada sebuah aksi. Lalu, dibandingkan dengan dirinya 10 tahun kemudian: seorang suami, dan bapak seorang anak. Ada statement dirinya ketika beragitasi mengajak massa menuju perubahan, namun 10 tahun kemudian dia bisa ber-statement yang intinya saat ini demo sudah tidak lagi relevan sehingga sebaiknya mahasiswa kembali belajar. Gila, pertama aku terkesan bahwa mantan aktivis ini berpikir sangat realistis dengan hidup yang dijalaninya dan mencoba berdamai dengan egonya untuk tak lagi heroik. Namun, aku jadi berpikir lain juga setelah nonton film ini: bahwa rentang waktu 10 tahun sangat cepat merubah situasi negara ini.

Kita berusaha keras melawan lupa bahwa kita pernah gelisah pada situasi yang mapan, lalu pada satu titik dimana kita telah ‘merasa mapan’ kita membaca bahwa gejolak yang dilakukan oleh generasi setelah kita atau gerakan mahasiswa masa kini terasa tidak relevan. Duh…aku pribadi sangat takut mengalami hal ini, mengalami lupa pada kegelisahan yang pernah aku alami. Inilah justru intinya perubahan, beruntunglah bagi orang-orang yang selalu memiliki pikiran gelisah dan mau membuat perubahan sekecil apapun dalam komunitas terdekatnya.

Lalu, aku nonton film tentang anak sekolah yang berusaha mengusut korupsi di sekolahnya. Tak bisa dipungkiri bahwa Reformasi 1998 memberikan efek positif pada semangat kritis anak-anak SMA ini. Gila, aku tidak bisa membayangkan bila hal seperti ini terjadi pada masa aku sekolah. Sudah dikeluarkan ‘kali. Seorang teman pernah bilang padaku kalau dia pesimis dengan gerakan anak muda karena melihat sikap anak muda sekarang.

Tapi melihat film ini aku sangat optimis dengan semangat generasi muda.

Mengapa Kita Perlu Gerakan Anti Lupa?

Oleh: Rade Eva Febrina Panjaitan, Pekerja di sebuah yayasan sosial di Jakarta

Sejarah merupakan penggalan berharga dari kehidupan. Karena ada masa lalu, maka ada masa kini dan masa depan. “Mengingat” tak selalu berarti “usang” dan “melankolis, melainkan bisa berarti “penghargaan”, “evaluasi” bahkan “waspada”.

Demikian halnya mengingat Kerusuhan Mei ‘98 atau biasa disebut Mei ‘98, pada penggalan waktu itu terjadi suatu peristiwa yang akan selalu menjadi potret buram bangsa ini. Bagi beberapa pihak, peristiwa itu dapat berarti anarki, kebrutalan atau kerusuhan. Bagi pihak lainnya, Mei ‘98 dapat berarti kehilangan, ketertindasan, dan keputusasaan. Namun demikian, bagi pihak tertentu saat itu dapat pula berarti kemenangan atas tirani dan manisnya hasil perjuangan.

Tanpa mengurangi rasa hormat maupun belasungkawa terhadap setiap mereka yang kehilangan –siapa pun atau apa pun juga– yang mereka cinta, Mei ‘98 perlu diperingati. Bukan untuk terpaku pada kenangan suram, melainkan untuk penghormatan tertinggi bagi mereka yang harus membayar mahal –dengan darah, nyawa, harta bahkan kehormatan– demi terjungkalnya sebuah rezim. Lebih daripada itu, peringatan Mei ‘98 juga berfungsi memulihkan kewaspadaan kita dalam melihat tanda-tanda zaman, seperti momen paling tepat untuk menggulingkan tirani, penyulut kerusuhan massal yang cenderung biadab sampai pertolongan pertama dalam kekacauan masyarakat (society chaos).

Mari kita sama-sama mengingat dan memperingati Mei ‘98 dengan hati yang tulus. Marilah juga kita menentang segala hal dan usaha yang coba mengabaikan bahkan menghapus jejak-jejak darah pada peristiwa tersebut. Dengan demikian, kita bisa berbangga diri sebagai bangsa yang anti lupa (sejarah)!

1998-2008

Oleh: Achmad Baihaqi dan Nadissa Fadhila kelas XII IPS 1, SMA 28 Jakarta

1998

Kita masih kecil. Baru 8 tahun. Masih kecil, piyik, ingusan dan belum tau apa-apa. Apa itu reformasi? Kita belum mengerti. Saat itu yang kita mengerti tentang reformasi cuma seputar sekolah yang diliburkan, berita di televisi yang isinya tentang demo mahasiswa, penjarahan yang terjadi dimana-mana (dan sempat kepikiran mau ikutan melihat enaknya orang mengangkut banyak barang dari toko tanpa membayar), jalan di Jakarta yang sepi dan masuk ke tol gratis karena gak ada yang jaga loketnya.

Kita benar-benar buta soal reformasi. Sebagai anak SD kita cuma bisa terheran-heran melihat betapa ganasnya orang-orang yang dengan buasnya menjarah toko-toko, mulai dari toko besar sampai ke toko kecil yang berada di dekat rumah Haqi semuanya terkena penjarahan. Saat itu mahasiswa benar-benar lagi ada di puncak semangatnya. Mereka berteriak meminta perhatian dengan memenuhi jalan di Jakarta. Kalo dilihat dari atas mereka tampak seperti sedang karnaval dengan warna-warni jaket universitas yang berwarna cerah.

Sepenggal cerita dari Nadissa :
Ayah gue kebetulan terlibat di belakang layar dan terlihat sama bersemangatnya dengan para mahasiswa. Secara gak langsung Ayah nularin semangatnya ke gue. Dia bahkan ngajak gue terjun langsung buat mengatur dan menggerakkan mahasiswa yang turun ke jalan. Saat itu gue benar-benar gak ngerti apa tujuan mereka, yang gue tau, waktu itu gue bisa ngerasain semangat mereka yang begitu meluap.

Dan saat Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, para mahasiswa begitu senang, senang karena berhasil mencapai apa yang mereka perjuangkan. Pada saat itu sekali lagi gue masih belum mengerti maksud tindakan mereka, yang gue tau mereka sedang menunjukkan perasaan gak suka mereka ke Presiden Soeharto. Seperti mahasiswa yang gembira ria, gue juga ikutan senang, bukan karena gue ngerti, tapi karena gue ngeliat Ayah gue senang. Gue masih inget banget mimik muka bokap gue dan ratusan ribu mahasiswa yang saat itu berhasil menduduki gedung DPR/MPR.

Mimik itu begitu misterius karena gue gak tau apa artinya.

2008
Sekarang kita tau apa itu reformasi. Sekarang kita tau apa arti mimik ayah Nadissa dan ratusan ribu mahasiswa itu. Sekarang kita tau dan mengerti mengapa para mahasiswa mau bersusah payah seperti itu, mau capek-capek berteriak dan panas-panasan di jalan.

Mereka menginginkan perubahan. Mereka ingin ada perubahan ke arah yang lebih baik. Luapan kemarahan karena terkungkung begitu lama, ketidak-mampuan menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya membuat mereka dengan gigihnya berjuang. Mereka bersatu, berkorban, bersusah payah, berjuang dan merelakan apapun meski saat itu nyawa mereka menjadi taruhannya.

Semua itu menyadarkan kita. Menyadarkan kita bahwa mereka sangat mulia karena perjuangan dan pencapaian mereka sangatlah besar artinya. Mereka yang berjuang kini menuntut tanggung jawab kita untuk meneruskan perjuangannya. Mereka baru memulainya, sekarang KITA yang harus menjaga dan meneruskan impian mereka untuk menjadikan Indonesia menjadi lebih baik.


2 Responses to “Opini”

  1. Perubahan itu baik, perubahan membawa udara segar, perubahan berarti malam menjadi siang, gelap menjadi terang. Perubahan itu baik. Perubahan itu adalah kehidupan. Karya-karya gemilang ini mencerminkan bahwa kita sudah berada di jaman yang berbeda. Mari kita hadapi dengan mata dan hati yang terbuka.

    Studio I, TIM.
    Saat pemutaran Kineforum.

  2. sabar aj bos.kita butuh pahlawan untuk reformasi…sape tuh

Comments are closed.